NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Kamis, 27 Mei 2010

PERAWAN ( YANG ) TUA

Selamat malam. Nama saya Leila. Saya seorang penulis cerita pendek. Entah mengapa, di dalam cerita – cerita saya itu, selalu saja saya buat tokohnya sendirian, tidak berpasangan. Bukan juga karena yang menulisnya belum berjodoh, tapi menurut saya menulis karakter tokoh yang sendirian itu lebih sempurna. Sebenarnya saya juga sering diliputi rasa takut, kalau – kalau setiap tokoh yang saya ciptakan itu adalah ( sebenarnya ) saya sendiri.
Saya penulis yang handal, cerita – cerita saya sudah banyak sekali menghiasi majalah – majalah ibukota dan surat kabar terkemuka. Tersanjung saya oleh daya pikat tulisan saya, itu juga mungkin yang membuat Reno kekasih saya sampai tidak pernah bisa melepaskan getaran cinta saya. Walaupun entah mengapa, sampai saat ini, Reno belum berniat melamar saya, pernah suatu kali saya menyindirnya, “ Sayang, sampai berapa lama lagi kamu akan terus mencintai saya ? “ suara saya begitu lembut dan manja kedengaran di telinga Reno, dan kalau sudah begitu, dia hanya bisa menciumi saya dan berjanji akan terus setia.

Tapi ingatan akan Reno, kalah dengan tuntuan profesi saya sebagai penulis, bayangkan saja, sampai detik ini, saya belum mendapatkan ide cerita apapun juga. Buntu otak saya. Sementara tulisan itu harus segera dikirimkan ke meja redaksi. Memang, sebagai penulis senior, saya sangat diberi kelonggaran, tapi tetap saja itu seperti sebuah utang yang harus segera saya lunasi. Otak yang beku ini, membuat saya kerap membuang waktu mencari ilham di sebuah kursi di balkon depan kamar saya.

Suatu malam, tidak sengaja saya mendengar suara barang pecah dari luar kamar, lumayan keras, saya keluar kamar, dan mencari sumber suara itu. Ternyata, suara itu berasal dari balkon tetangga saya. Suara keras itu membuat saya spontan melihat ke arah balkon ( tetangga ) itu. Aneh, seperti merasa terganggu dengan kehadiran saya, perempuan itu langsung berlari masuk ke dalam kamarnya, dan menutup rapat semua pintu dan jendela berserta hordennya. Saya melenguh panjang, tidak perduli dengan kejadian itu.
Malam ini, saya mendengar lagi suara yang sama dari balkon tetangga, terbiasa telinga saya mendengar kegaduhan itu, tapi tidak disangka, ketika saya menoleh ke balkon, perempuan tua yang cantik dan berambut panjang itu, tidak berlari masuk, tapi, hanya melihat saya sekilas, dan lalu jatuh melantai sambil menangis. Saya sungguh merasakan nada minor dalam tangisnya itu, begitu menyayat. Ingin rasanya saya melompat, dan memeluk perempuan itu. Tapi, saya tidak mengenalnya. Bahasa tubuhnya menjelaskan bahwa dia juga tidak suka ada orang yang berusaha mengenalnya.
Malam seterusnya aku kembali lagi melihatnya duduk di balkon dari mulai sebelum matahari terbenam sampai dengan malam tiba, hal tidak sengaja terlihat oleh saya, yang ( sekali lagi kebetulan ) pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Perempuan itu hanya duduk di atas kursi malasnya, sambil mulutnya terus berasap dari batang rokok yang dijepit di sela – sela jari di tangan kirinya, tangan sebelahnya mengepit sebuah frame foto, sesekali dia bangun dari duduknya, berdiri di depan balkon, terlihat jari – jarinya mulai menghitungi lelaki – lelaki yang lewat dari depan jalan rumahnya. Entah apa maksudnya, itupun tidak lama, karena setelah itu, dia akan menarik nafasnya, yang kemudian kembali duduk dan berasap lagi.

Mulanya buat saya, perempuan itu tidak berarti apa – apa, sama sekali tidak membantu saya, untuk menemukan bahan tulisan untuk deadline pengiriman cerita yang harus segera saya kirimkan lagi. Sampai suatu malam, ketika bulan mulai mengintai dari peraduannya, dan yang sekarang genit dengan kerlingan bola mata nakalnya, dan kerjanya setiap malam hanya menggodai bintang dengan kerlip cahayanya juga, saya kembali melihat perempuan itu, duduk dengan
” caranya sendiri “ seperti biasa, dan jelas saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, dia membanting keras figura foto ini ke samping tempat duduknya, dan setelah itu, dia membuang rokok di tangannya, lalu duduk melantai di samping serpihan kaca figura, meratapi foto itu dan menangis. Terasa betul, perempuan itu menahan suara tangisnya, supaya tidak terlalu keras terdengar. Sayatannya mampir ke ulu hatiku, merobek – robek jantungku.
Jadilah malam itu aku ikut menangis juga. Air mata itu menulari saya.

Berdiri di pintu rumah perempuan itu, bulu kuduk saya bergidik, mengapa tiba – tiba ada sepi yang mulai menyelimuti ? tidak enak hawanya dari luar sini, tapi aku tidak peduli, rasa penasaran saya yang besar, menguatkan saya untuk mengetuk rumah itu. Tiga kali.
Dan pada ketukan yang keempat, baru keluarlah seorang perempuan yang kalau saya kira sekitar 50 tahun, perempuan dengan senyum yang paling manis yang aku lihat untuk ukuran seusianya.
“ Selamat malam ibu, saya tetangga sebelah rumah..” kata saya memperkenalkan diri. Namun apa yang terjadi, perempuan tua itu, bukannya membalas tanganku yang menjulur di depan mukanya, dia hanya bertanya pendek, tapi ( untungnya ) tetap tersenyum, “ Mau bertemu dengan siapa ? “ tanya dia pada saya.
“ Saya hanya mau berkenalan.. “ saya hanya memberi penegasan akan tujuan kedatangan saya, walaupun jantung saya mendadak berhenti berdetak, berganti dengan suasana hati yang mencekam. Entah kenapa.
Perempuan itu tidak menjawab hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu saya bertanya lagi, “ Apakah perempuan yang selalu duduk di balkon dan merokok itu, kerabat ibu ? “ sungguh rasa penasaran memenuhi seluruh jiwa raga saya.
Sedikit tersentak perempuan itu mendengar pertanyaan saya, tapi kemudian kembali tenang, seperti tidak terjadi apa – apa, dan menjawab pertanyaan saya dengan ketenangan yang sungguh sangat luar biasa, “ Perempuan mana yang anda maksudkan ? tidak ada perempuan lain di rumah ini, selain saya. “ begitu katanya.
Dada saya seperti dihantam oleh batu puluhan kilo beratnya, saya yakin perempuan ini berbohong.
“ Hampir setiap malam, saya selalu melihat dia duduk merokok di balkon depan kamarnya .. “ kata saya melakukan pembelaan atas kesetiaan mata saya melihat adegan demi adegan di depan balkon itu.
“ Mungkin anda salah liat, saya hanya seorang diri disini.. “ katanya lagi membela diri.
“ Tapi bu… “ belum sempat saya bertanya lagi, perempuan itu menutup pintunya kencang.
Saya terhempas oleh rasa ketidak percayaan saya sendiri. Tidak mungkin, panca indera saya ikut berbohong. Demi Tuhan, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri semua kejadian itu. Perempuan itu memang ada, dan pernah suatu ketika dia juga melihat saya, kibaran rambut panjangnya itu, dengan badan yang menurut saya masih proporsional untuk usianya yang menua, sangat jelas terlihat. Saya menolak, kalau dikatakan saya mengarang, atau ini hasil dari sugesti mata saya, atau liaran imajinasi saya, dan apalagi kalau dikaitkan dengan bahan tulisan saya yang masih menguap sampai dengan hari ini. Bukan karena saya belum mendapat cerita yang menarik, lantas saya jadi gila.
Ini hari terakhir pencarianku, besok malam, kalau sampai cerita itu, tidak sampai juga di meja redaksi, maka saya akan berhenti menulis cerpen. Saya terlalu bodoh untuk tidak dapat memperoleh bahan cerita, bahkan mengarang bebaspun tidak ( lagi ) mampu. Mungkin saya memang sudah tua. Saya kembali ke rumah, dan berharap malam ini, saya bertemu dengan dia di balkon.

Sambil menunggu perempuan itu keluar dari kamarnya, saya asik merokok, dan main games dari laptop yang sengaja saya taruh di atas meja di depan balkon kamar saya, mudah – mudahan ada keajaiban yang turun, yang membuat saya bisa membuat sebuah cerita menarik malam ini. Cerita tentang apa saja.
Games di laptop tiba – tiba saja jadi permainan yang sangat tidak menarik untuk malam ini, Saya lebih menikmati mengingat perempuan tua yang membuka pintu rumah tetangga sebelah tadi. Saya hanya mengira saja, berarti penghuni rumah sebelah, ada dua orang, satu perempuan yang murah senyum tapi dingin dan perempuan tua yang selalu merokok dan menangis di depan balkon kamarnya, dua perempuan dengan titik usia yang tidak terlalu jauh berbeda sepertinya.
Sudah hampir setengah jam, saya menunggu di balkon, tapi tidak ada tanda – tanda perempuan itu keluar dari kamarnya, yang terdengar hanya sayup – sayup suara musik dan isak tangisnya. Saya semakin penasaran, apa yang sedang terjadi di dalam kamar perempuan itu ? kenapa malam ini dia tidak menangis di luar, biar saya juga bisa ikut merasakan sayatan tangisan itu. Tidak berapa lama, bunyi pecah itu ada lagi. Ya Tuhan, rasa penasaran ini, bisa membunuh saya perlahan, kalau saya tidak bisa mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya pada perempuan itu.

Sampai tengah malam, saya hanya menunggu saja, puntung rokok sudah berbatang – batang menguasai asbak di atas meja. Perempuan itu tidak keluar juga. Kali ini, saya berdiri ke samping balkonnya, dan mencoba untuk mengintip, tapi sia – sia, tidak ada yang terlihat, bahkan dalam hitungan detik yang kelima, lampu kamarnya pun ikut mati.
Selesai.
Saya membereskan semua isi meja, masuk ke dalam kamar, mencuci kaki, dan melonjorkan kaki di atas tempat tidur. Tapi, mata ini nakal, bersahabat dengan otak saya, menolak untuk tidur. Akhirnya saya rebahan saja, sambil mengambil remote, dan menonton tivi.

Ketika pertahanan kantuk saya mulai kalah, saya mendengar ada suara yang percis sama seperti suara yang selama ini mengepung malam – malam saya, spontan saya mengecilkan volume tivi, dan mengintip dari balik jendela kamar. Mata saya membulat, lantas melirik jam dinding, dan terbelalak, melihat jarum pendeknya sudah di angka dua dan jarum panjangnya pun di angka dua belas.
Jam dua pagi.
Dan perempuan itu, akhirnya keluar juga dari persembunyiannya. Saya memutuskan untuk tidak keluar, tapi hanya melihat dari balik jendela yang tercover horden lebar dan tidak transparan, yang sengaja saya buka agak lebar, supaya saya bisa melihat jelas kejadian demi kejadiannya.
Aneh. Kenapa perempuan tua yang tadi membuka pintu itu, tidak keluar dan menyuruh perempuan ini masuk ? padahal angin malam, sangat buruk untuk kesehatan, apalagi untuk perempuan seusia dia.
Masih melihat dari balik jendela, gerak – gerik yang selalu sama, ritual yang berulang. Perempuan itu duduk di kursi depan balkonnya, membakar sebatang rokok, dan mulai menghisapi. Asap yang keluar dari mulutnya selalu dia buang ke atas, seperti nyaman, menatap kumpulan asap yang berterbangan di atas kepalanya. Dia melamun, begitu sepi dan menyesakkan dada melihatnya, tidak lama kemudian, dia mengambil frame foto di atas meja samping kursi, mengangkat frame itu dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri setia terus dengan bara dan asapnya. Lama dia memandang foto itu, mulutnya bergumam sesuatu, tapi tidak jelas di telingaku, tersapu angin malam yang cukup kencang. Dan klimaks dari kejadian itu adalah ketika perempuan itu kembali mengangkat frame foto dan lalu dengan tangan kanannya menjatuhkannya di lantai. Frame itu pecah.
Semenit setelah itu, dia juga ikut terjatuh dan menangis bersama dengan serpihan kaca itu. Tidak lama juga, dia tiba – tiba bangkit berdiri, mulai memandang ke arah jalan, menggerakkan badan dan kakinya berjalan ke kiri dan ke kanan balkon, seperti sedang mencari seseorang, pencarian yang sia – sia.
“ Mana ada orang di jalan, di jam dua pagi dini hari.. “ kata saya membatin. Tidak ada kata lain yang membuncah keluar dari hati saya, selain kata kasihan.
Saya sungguh mengasihani perempuan itu, seperti ada perjalanan kehilangan yang tengah dialaminya.
Mata saya memberat. Saya putuskan untuk menutup hordennya rapat – rapat dan lalu naik ke atas tempat tidur, membiarkan perempuan itu sendirian dengan segala kesedihannya.

Pagi – pagi benar, saya sudah menghubungi pihak redaksi, minta untuk perpanjangan waktu pengiriman cerita, saya memberikan alasan yang super jitu, bahwa saat ini, saya sudah mendapatkan sumber cerita, yang nantinya akan membuat cerita saya menjadi hebat. Dengan setengah hati, dan dengan nada terpaksa, pemimpin redaksi itu mengiyakan permintaan saya. Saya yakin, ini semua karena jam terbang saya di tempat ini. Sehingga banyak pemakluman untuk saya.
Keluar dari pintu rumah saya, kebetulan ada perempuan tua yang kemarin, senyumnya teramat manis pagi ini, mengiringinya menyapu halaman, sebagai tetangga yang baik, saya menegur ibu itu duluan, “ Selamat pagi ibu.. “ kata saya dengan suara yang lantang.
Merasa dipanggil, si ibu menghentikan pekerjaannya, menoleh dan kembali tersenyum melihat saya, katanya demikan, “ Selamat pagi juga...” saya bahagia, karena dia mau menyambut sapaan saya.
Belum lagi langkah saya menjauh dari halaman rumahnya, tiba – tiba saja, perempuan itu berteriak, “ Nanti malam anda bisa mampir ke rumah saya ? “ saya kaget dan menatap perempuan itu setengah tidak percaya.
Saya mundurkan langkah saya, sekarang saya sudah berdiri di depannya, “ Saya ? “ tanya saya diulang, dan dia pun mengangguk.
“ Ada apa mengundang saya ? “ tanya saya penasaran. Perempuan itu tersenyum memamerkan barisan gigi putihnya dan menjawab pendek, “ Ada yang mau kenalan.. “ setelah itu dia masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu rumahnya perlahan.
Saya membalikkan badan untuk segera pergi dari sana, tapi ada harapan bergelombang di dalam dada saya. Ini pasti akan jadi sebuah cerita yang sangat menarik. Setelah berpikir begitu, saya pergi berlalu dari situ.

Mengetuk pintu tiga kali, kebiasaan saya, setiap bertamu ke tempat orang lain. Entah kenapa, seperti sudah menjadi sugesti buat saya, contohnya yang lain, saya tidak akan mengangkat telepon yang berdering, kurang dari tiga kali. Menurut saya, ketika sudah sampai tiga kali, berarti memang dia punya tujuan, seperti saya yang malam ini bertamu dengan maksud dan tujuan. Mencari bahan tulisan.
Dengan setelan baju rumahan, dan aroma tubuh yang wangi, saya menunggu pintu ini dibuka, dan sama seperti waktu itu, pada ketukan keempat, pintu itu akhirnya dibuka. Perempuan tua itu, menyambut saya dengan senyum khas yang tidak terlupakan, lalu dengan tangannya yang mempersilahkan saya untuk masuk ke dalam rumahnya. Berdesir hati saya ketika mulai melangkah masuk ke dalam rumah itu, nuansa seni yang mengental terasa betul dari dalam rumah ini, seperti lukisan – lukisan sang mayestro tampak menempel di dindingnya, belum lagi pajangan – pajangan miniatur seluruh negeri juga tampak berbaris rapi di dalam lemari kaca ruang tamu, belum lagi, jajaran buku – buku di dalam rak – rak dari kayu jati di samping lemari televisi, dari mulai buku novel Indonesia, sampai novel perjuangan. Rak yang memanjang itu di atasnya diisi rapat juga oleh VCD dari berbagai film. Menurut saya, rumah ini, lebih pantas disebut sebagai museum. Berdiri di tengah rumah ini membuat bulu kuduk saya berdiri berbarengan semuanya, dari mulai kaki, tangan sampai keleher, tapi semua berhasil saya kalahkan dengan keinginan saya mendapatkan cerita menarik malam ini.
Saya terlena melihat pemandangan di dalam ruang ini, hampir saja saya lupa misi saya sebelumnya.
Tapi, kemana perempuan tua itu ? kenapa tiba – tiba saja menghilang ? rasa ketakutan yang luar biasa, menghiasi hati saya. Saya seperti terjebak masuk ke dalam sebuah tempat, dan tidak bisa keluar lagi dari sana. terkunci tepatnya. Ingin rasanya berlari keluar, tapi kaki ini berat, ( bahkan ) tidak mau melangkah sama sekali. Saya jadi berpikir seribu kali, apakah memang tepat keberadaan saya di tempat ini.
Belum lagi selesai berkutat dengan pertanyaan –pertanyaan di benak saya. Ada suara yang menyuruh saya naik ke atas, seperti tersihir saya mengikuti ajakan suara itu, mulai melangkahi satu demi satu anak tangga yang rasa dinginnya menjalar merasuki tulang- tulang kaki saya. Sampai di atas, saya melihat ada sebuah pintu yang terbuka, penuh keberanian saya buka pintunya, dan terlihat sebuah kamar besar nan megah, kamar yang di sekeliling dindingnya dipenuhi oleh foto – foto yang bingkainya sudah retak semua. Juga alunan musik yang menyanyat dari sebuah tape yang menyala di samping tempat tidurnya, musiknya sama dengan musik yang setiap malam mampir ke gendang telinga saya. Kembali saya merinding.
Tatapan saya kemudian beralih pada sebuah pintu menuju ke balkon yang terbuka lebar, angin yang bertiup kencang, menerbangkan kain horden jendela kamarnya, kaki saya melangkah perlahan ke sana, sampai di depan pintu, saya tertegun, melihat sosok perempuan yang selalu saya lihat setiap malam, sedang duduk di atas kursi dan tangannya membakar sebatang rokok di tangannya. Saya tidak bisa melihat mukanya, karena dia duduk membelakangi saya. Seperti tahu akan kegundahan saya, dia pun akhirnya bersuara, “ Masuklah, tutup pintu itu dan duduklah, saya tidak punya banyak waktu, saya akan bercerita, apa yang sebenarnya terjadi kepada saya..” kata –kata yang jelas terdengar parau.
Saya duduk percis di samping kursinya dengan dipisahkan sebuah meja bundar, dan ada figura foto yang biasa saya liat setiap malam, figura yang posisinya dibalik, sehingga saya tidak bisa melihat foto di dalamnya.
Belum lagi saya bertanya, dia sudah meracau duluan.
“ Cerita ini akan saya mulai, dengan memperkenalkan nama saya. Carolina, panggil saja saya Lina, saya seorang kolektor benda – benda antik, anda bisa lihat pada hiasan di dalam rumah saya, saya pencinta barang seni, walaupun saya bukan seniman. Dari ujung mata saya, saya tahu kalau kamu selalu memperhatikan gerak – gerik saya, tapi saya tidak perduli. Saya hanya mau kamu tahu kalau saya ini, tidak pernah peduli pada apapun juga, selain foto dalam figura ini dan cinta juga kesetiaan yang tenggelam didalamnya..” dia terus bercerita tanpa sekalipun melihat muka saya. Ini tidak sopan. Bagaimana mungkin, dia terus bercerita, padahal kami tidak saling berpandangan, saya tidak sabar untuk segera bertanya, “ Lantas ada apa gerangan dengan foto – foto itu ? “.
Perempuan itu menghisap dan menarik rokoknya dalam – dalam, kemudian menghardik saya sedikit marah, katanya, “ Jangan memotong pembicaraan saya, saya sudah katakan kalau waktu saya hanya tinggal sedikit…”
Mendengar itu, nyali saya langsung ciut.
Dia kembali melanjutkan bercerita.
“ Bertahun – tahun, saya menunggu lelaki dalam figura itu datang kepada saya, tapi nihil, sampai sekarang, dia tidak juga muncul. Lelaki itu namanya Gustav, seorang seniman lukis. Saya sudah sepuluh tahun berhubungan dengan dia. Sepuluh tahun, tanpa pernah melakukan hubungan badan. Dia tidak pernah mau menyentuh saya, walaupun saya sering memancingnya dengan terlentang di atas tempat tidur tanpa sehelai benangpun. Saya sangat mencintainya, dan tidak kuasa membendung birahi saya yang selalu meninggi setiap kali dia memeluk atau menciumi saya. Tapi, dia tidak pernah sekalipun menyentuh saya, dia hanya katakan kalau aku harus menunggu sampai waktunya perbuatan itu tidak lagi tampak “ haram “ buat kami berdua.
Awalnya saya bangga dan bahagia. tapi kamu tahu rasanya, menahan luapan birahi yang tidak tersalurkan ini, membuat kepala saya seperti mau pecah, dan keinginan itu akhirnya selesai, dengan menonton film. Tapi tidak pernah tuntas.
Suatu ketika, lelaki itu datang berlutut di bawah kaki saya, menangis. Menciumi bibir saya, sampai saya kepayahan, meremasi payudara saya, sampai saya kesakitan tapi menikmati. Dan ketika tangannya mulai meraba bagian tubuh saya yang lainnya, dia berhenti. Saya menangis. Tubuh saya mengejang. Saya memohon supaya tangannya jangan berhenti bergerak. Dia menolak.
Dia menatap saya, meminta restu saya untuk pergi menjual semua lukisan – lukisannya, membelah satu kota ke kota yang lainnya. Berjanji akan pulang dengan membawa kotak yang isinya cincin kawin. Dia pegang erat tangan saya, memeluk saya, dan membisiki sesuatu di telinga, memohon untuk menjaga keperawanan saya, sampai dia pulang. Saya berjanji. Janji itu masih saya pegang sampai saat ini. Tapi saya perempuan yang terlalu bodoh sedunia, dari mulai rambut hitam, sampai memutih, dari gigi yang utuh sampai sekarang jadi palsu. Saya menunggu dia, dan dia belum juga datang.
Harapan yang saya simpan sekarang mulai retak seiring waktu yang menua. Entah di belahan bumi yang mana lelaki sinting itu berada. Saya juga tidak tahu, apakah setianya masih dipegang erat ? atau malah sudah selesai.
Tapi saya, sudah berjanji, akan terus menunggunya pulang, dan membuka kotak cincin itu, melihatnya memakaikannya di jari manis saya. Dan yang teramat penting. Saya mau teriak di depan mukanya dan mengatakan kalau saya masih perawan. “ dia berhenti bicara, dan mulai membakar batang rokoknya entah sudah yang keberapa.

Hening dan diam, saya mendengar cerita itu. Bulu kuduk terus berdiri dan merinding. Saya tidak tahu, harus berkata apa lagi. perempuan ini setia. Hanya itu. Dan batin saya berontak, kalau saya harus mendengarkan ceritanya sampai selesai.
Perempuan itu sekarang mulai bercerita lagi, “ Dulu, saya juga penulis sama seperti anda. Setiap malam, otak saya dipenuhi oleh banyak cerita, terutama cerita tentang cinta. Saya merasa menjadi seorang perempuan yang paling beruntung di dunia, memiliki calon suami yang baik dan sangat mencintai saya, dan di karuniai otak cerdas dalam merangkai sebuah cerita. Tapi, semenjak, dia mulai tidak terlacak lagi, bahkan satu kalimatpun tidak bisa lagi saya rankai. Semua huruf dan kata seakan raib dari otak saya. Yang bisa saya lakukan hanya merokok dan melempari figura – figura fotonya ke lantai, dan pecah. Setelah itu aku ganti dengan figura yang baru, dan aku pecahkan lagi, terus seperti itu. sampai aku bisa membuat pameran foto, dari figura – figura yang sudah pecah itu, lalu aku tempel di dinding kamar ini. Kemarahan saya pada lelaki itu begitu besar. saya yakin dia tidak akan pernah pulang. Dan saya akan terus jadi perawan.
Mungkin waktu saya juga tidak lama lagi, saya bosan hidup. Perempuan yang (tua) yang masih perawan. Oleh karena itu, saya ceritakan ini kepada anda, supaya anda bisa tulis ceritanya dan kirim ke majalah atau surat kabar, berharap lelaki itu membacanya dan mati karena rasa bersalahnya itu. Jangan pernah terlalu mencintai, karena akan terlalu juga sakitnya. Cerita saya sudah selesai, pulanglah dan jadilah penulis yang baik. Apakah kamu sudah berkeluarga ? “ dia bertanya pelan.
Saya menggeleng, meratap dengan kesedihan yang sama. Lalu menjawab dengan suara parau yang sama, “ Belum.. entahlah, mungkin tidak.. “ kata saya menunduk dan pesimis.
Perempuan itu lantas tertawa keras sekali, saya sampai kaget dibuatnya, katanya lagi, “ Tidak ada kata terlambat untuk cinta, tapi kalau cinta datangnya terlambat, maka penyesalan yang akan bernama “ perempuan itu berkata dengan masih menyisakan tawa di mulutnya. Lalu teriak menyuruh saya pergi, saat itulah dia membalikkan badannya dan saya bisa melihat jelas wajahnya.
Saya kaget bukan main, wajah itu sama percis seperti tidak bersisa dengan perempuan yang membukakan pintu untuk aku, dan yang bicara saat menyapu di halaman.
“ Loh, ibu ini bukannya yang bertemu dan berbicara dengan saya kan ? jadi…” belum sempat saya menjelaskannya, Carolina sudah lebih duluan menampik, “ Tidak ada orang lain yang tinggal di dalam rumah ini selain saya..” katanya dan lalu tertawa menyuruh saya pergi, tangannya dikibas – kibaskan kepada saya, seolah – olah saya ini perempuan yang menjijikkan.

Keinginan saya saat ini hanya satu, sampai di rumah dan merokok menghalau rasa cemas yang luar biasa merongrong. Tanpa permisi, saya berlari keluar pintu kamar, turun ke tangga, dan melesit membuka pagar rumahnya yang tidak dikunci, dan masuk ke dalam rumah saya, membuka pintu kamar, merokok sebentar, dan lalu tenggelam dalam selimut besar kasurku, menutup semua badanku. Belum pernah seumur hidup saya, ketakutan seperti ini.

Suara – suara teriakan di luar rumah membangunkan tidur saya, jam di dinding masih pukul empat pagi dini hari. Penasaran melihat apa yang sedang terjadi di luar, saya membuka balkon kamar saya, dan kaget bukan main, melihat perempuan yang baru saja tadi malam bercerita panjang lebar tentang kisahnya itu padaku , sudah tergolek penuh darah tanpa daya di lantai jalanan. Perempuan itu mati sia – sia oleh cinta dan kesetiaannya.
Dari atas balkon, saya tidak bisa mengucap sepatah katapun, saya hanya melirik kursi tempat biasa dia duduk, figura foto kembali pecah di atas lantai. Pantas saja, dia bilang waktunya sudah tidak lama lagi. Dia mati membawa keperawanannya.
Dengan hati yang gundah, saya setengah berlari ke kamar mandi, membasuh muka saya dengan air dingin, mencoba menghapus kenangan terakhir berbicara dengan perempuan itu, ceritanya masih di kepala, wajahnya tidak pernah jelas keliatan. Ada bulir hangat air mata saya merambahi sekitar pipi saya. Merona merah warnanya. Tiba – tiba saja, saya luar biasa ketakutan melihat wajah saya sendiri. Ya Tuhan, kerut – kerut itu, hampir sama dengan garis – garis wajah Carolina.
Saya berteriak didalam kamar mandi, sambil terus menatap wajah di dalam cermin itu, wajah yang sekarang seperti menjelma menjadi dua, wajahku dan wajah Carolina, seperti memiliki rangkaian cerita yang sama.
Tidak, saya tidak mau seperti perempuan itu, mati sia – sia. Tidak bahagia, tidak merasakan indahnya kasur yang berubah jadi warna merah.. saya tidak mau setia sampai mati. “ dengan gerakan yang cepat, saya mengambil ponsel dan mencari nomor yang saya tuju.
“ Hallo.. kita harus bicara..” kata – kata saya mengalir tersendat – sendat.
“ Saya sudah tua dan sampai sekarang saya masih perawan.. nikahi saya atau saya akan lompat dari balkon kamar, mencium jalanan dengan darah saya sendiri..” setelah itu tanpa menunggu jawaban, saya menutup teleponnya.
Masih tergesa – gesa dengan nafas yang juga sangat memburu, saya menelepon nomor yang lainnya, dan teriak kencang dengan bibir saya yang ikut bergetar, “ SAYA BERHENTI JADI PENULIS… !!!! “ lalu menutup teleponnya.
Saya melanjutkan membasuh wajah dengan air segar dari keran, mengeringkan dengan handuk yang mengelantung di paku sebelah wastafel, melangkah tangan mengambil segelas air putih, saya kehausan sekaligus membutuhkan ketenangan.
Saya berlari turun ke bawah, membuka pagar dan menyeruak kerumunan orang di jalanan. kangen melihat muka Carolina untuk yang terakhir kalinya.






The end.