NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Selasa, 04 Mei 2010

PENGAKUAN DOSA

Minggu pagi, suasana gereja paroki di bilangan Jakarta Barat, tampak penuh sesak dengan umat, tidak seperti biasanya memang, apalagi Misa pertama, di jam enam pagi, tepatnya. Terdengar kabar ada misa penyembuhan dari seorang Romo. Romo itu, sahabatku.


Namaku Ana, kependekan dari Anastasia.

Mengenai acara tersebut, juga sudah sampai ke telingaku, maka, pagi ini aku niatkan untuk ikut hadir di sana, walaupun berat rasanya langkah ini tergerak, kedua kaki seperti enggan bergerak, diikuti oleh badan, tanganku. Apalagi mata merah, belum tidur semalaman.

Tadi pagi di kamar, sebelum akhirnya aku berangkat juga. Gemetaran aku membuat tanda salib. Aku takut. Tuhan pasti marah padaku, mengenai peristiwa semalam, sebuah kejadian, yang akan aku bawa seumur hidupku, tidak akan pernah aku lupakan. Gambaran kejadian demi kejadian, terlukis jelas, seperti lukisan yang dipajang dalam pameran, bagaimana mungkin Tuhan masih mau menerimaku ?
Masih berdiri di depan cermin setengah retak, karena aku lempari tadi malam, aku mengambil sisir dan mulai menyisiri rambut panjangku, setelah sudah rapi, aku membuka laci dan mengambil gunting dulu warnanya hitam, sekarang jadi agak kemerahan, tanpa harus ditata lagi dengan rapi, aku menggutingnya dengan cepat, tertawa melihat rambut – rambut itu terlepas dari kawanannya, dan sekarang mengotori lantai kamarku. Rambut panjang terurai itu ( yang selalu jadi kebanggaanku sebagai symbol mahkota perempuan ) sekarang sudah berubah jadi pendek seadanya, tanpa model sama sekali. Aku tidak peduli. Yang jelas dengan memotong habis rambut ini, seperti ada beban berat yang terlepas, lalu membebaskan rasaku.
“ Hanya sebentar, luka batinnya akan terus sampai tua..” teriak cermin sambil menjulurkan lidahnya kepadaku, dan tertawa keras, membuat aku semakin marah, dan kembali melemparkan sepatuku ke mukanya.
Cermin itu, sekarang sudah benar – benar hancur. Sekarang giliran aku yang tertawa dan menjulurkan lidahku.
Dengan rambut baruku, aku membuka lemari baju, dan mengambil sebuah kemeja warna putih dan celana jeans biru tua, dari dalam sana, melepas baju yang lama, dan mengganti dengan baju yang baru. Tanpa cermin, aku tidak bisa mematut diriku lagi, masa bodoh, aku tidak perduli, aku tahu, semuanya akan sempurna. Khususnya pagi ini.
“ Percuma, tidak akan ada satu yang memberimu maaf.. “ kembali baju – baju di dalam gantungan itu, bergelak dan menertawai aku, getaran dalam dada ini, seakan lupa niatan semula, aku mengambil semua baju di dalamnya dan melemparinya ke lantai, sekarang, lantai kamarku bukan saja di kotori oleh rambutku, juga oleh pakaian – pakaianku.
“ Sok tau.. !! “ kataku sambil mencibiri mereka.
Sebelum berangkat aku harus tetap cantik, walaupun ada noda hitam di seputar lingkar mataku, hitamnya harus ditutupi oleh alas bedak, lalu bedak, sedikit polesan pada atas mata, bola – bola merah pada pipi, lipstick warna merah tua, menambah aroma seksi pada mulutku, terakhir aku menyemprotkan parfum kesayanganku, dari orang yang tersayang juga. Sayang, orangnya sudah pergi entah kemana ( berawal dari kisah tadi malam ), wangi harum tubuhku, menambah semerbak keindahan pagi, dengan rencana – rencana indah di dalamnya.
“ Kamu, cantik..” ada suara perlahan, tapi membuat hati sejuk dan damai, aku mencari sumber suara itu, tapi aku tidak menemukannya, aku berlarian di dalam kamar kecil ini, teramat kecil, untuk aku tidak bisa menemukan asal suaranya. Putus asa, aku ambil tas tanganku, meraih semua peralatanku untuk masuk ke dalamnya.

Sebelum pergi ( dan selamanya tiada kembali ) Aku kembali menyebar pandangan ke seluruh ruangan, detailnya masih terasa dalam hati, setiap sudut selalu punya arti besar, masih terasa, suata tawamu ketika saat bahagia kita masih saling memeluk. Sebenarnya aku tidak mau menangis, tapi langkah yang akan semakin menjauh ini, membuat hatiku perih, biar bagaimanapun, sepuluh tahun hidup di sini, dengan suka dukanya, terlalu lama mengendap jadi sejarah, khususnya untuk kami, berdua.
“ Selamat tinggal kenangan.. aku pergi, kembali ke rumah Bapa.. “ suaraku terdengar parau keluar dari mulutku, menarik nafas pelan, masih sesegukan dalam tangis, aku menutup pintunya, dan yakin, tidak akan pernah aku buka kembali. Selamanya.


“ Saya pergi bu, ini kuncinya.. “ kataku pagi ini kepada ibu pemilik kontrakan, di halaman depan rumahnya, ibu bingung menatap merah mata bengkakku.
“ Mau kemana ? katanya sambil merengkuh aku dalam bahunya.
Isak tangis semakin besar terdengar, dari balik bahu perempuan setengah tua itu, perempuan yang selama ini, sudah aku anggap seperti sosok ibuku sendiri, perempuan yang selalu sabar menghadapi keluargaku, khususnya, di saat aku harus bersembunyi di belakang lemari, ketika ibu mulai mengetuki pintu kamarku. Dan lalu ketika tidak ada respon sama sekali dari dalam, ibu itu lantas pergi dan tidak datang lagi, sampai aku menghampirinya, dan dengan kepala menunduk memberikan amplop ke tangan ibu, dengan hanya satu ucapan saja, “ Maafkan saya .. “ setelah itu, ibu baik hati itu, tidak akan memaki, malah mengambil tubuhku dan memberikan pelukan hangat.
Ibu itu seperti Tuhan, yang berwujud dalam tubuh manusia.
“ Kalau Radit pulang, saya harus bilang apa ? “ tanyanya lagi, sekarang tanganku yang digenggamnya.
Aku menggerakkan bahunya pelan ke atas, “ Katakan saja, saya sudah pergi, dan tidak akan kembali lagi.. selamanya.” Itu kataku terakhir, lalu kami berpelukan, dan aku pergi, tanpa menoleh lagi ke belakang.
“ Kamu mau kemana ? “ tanyanya lagi dengan mata kegusaran.
“ Gereja.. “ pendek kataku, tapi panjang jalanku.



Pagi ini, aku sudah ada di antara umat yang berjejalan di dalam ruang gereja ini, di sebelah kiriku ada sepasang suami isteri dengan anak perempuan yang sangat cantik, anak itu meraih pandanganku dan menangkapnya dengan senyuman, aku membalas tersenyum, tapi lantas membuang muka lagi, ada bulir – bulir hangat yang ingin lepas dari bola mataku.

Kembali teringat, sebuah kata yang menghujam ulu hati, kata yang merobek – robek citraku sebagai seorang wanita, “ Aku mau punya anak.. !! “ lelaki dengan mulut tidak hormatnya itu, teriak kencang di telingaku, teriakan yang tidak hanya terhenti di situ, tapi tambah dengan teriakan – teriakan lainnya juga, “ Dasar perempuan MANDUL..!! “. Tangan di sebelah badanku tiba – tiba jadi kaku dan keras, berisi amarah yang ingin terlepas. Suara – suara itu semakin menggila, dan membuat gendang telingaku jadi tuli. Aku lebih baik tuli.
Lelaki itu tidak tahu, bagaimana rasanya memiliki rahim yang tidak berisi, dia tidak pernah tahu, kalau kata – katanya itu, begitu menyinggung hatiku, menarik nafasku dan keluarnya satu satu, aku mau teriak, tapi mulutku seperti ada yang mengunci, hanya air mata yang keluarnya langsung deras. Lelaki yang menurut surat nikah adalah suamiku, berdiri tenang di depan jendela, menghembuskan asapnya dari rokok yang terjepit di tangan. Ingin rasanya, berlari ke arahnya, dan mengunci lehernya dengan tanganku, sampai badannya mengejang dan tidak bergerak lagi, melantai di tanah.
Tapi, sekali lagi, karena aku perempuan, aku tidak bisa berbuat apa – apa, hanya mulut setia memanggili nama Tuhan.
“ Tuhan, Engkau ada di mana sekarang ? mengapa diam saja, melihat aku sengsara tanpa daya ? “ kataku dalam hati sambil terus menangis.
Aku duduk di kursi menangis, sementara dia terus asyik berasap, sesekali matanya mengerling dengan senyuman sinisnya.
Aku balas kerlingan itu dengan lemparan senyumku yang paling dingin tercuri dari sudut mataku, ingin sekali meludahinya, dan memberi pelajaran berharga pada mulut yang bersahabat dengan bibir, yang warnanya menghitam karena candu nikotin. Duh Gusti, kalau ada yang terluka malam ini, itu salahku yang menerima kotoran atau dia yang memang kotor?

Aku butuh pertolongan. Lantas sembunyi - sembunyi mengetik sms dari bawah kolong meja, lalu mengirim sms kepada seseorang. Sahabatku.

CEPAT DATANG.. TOLONG AKU..!!!

menekan tombol kirim, dan menerima pesan bahwa isinya sudah diterima.
kemudian sahabat itu, membalas, mengiyakan pintaku. Menarik nafas lega, aku tinggal menunggu.

Dari sudut mataku, aku lihat ada langkah kakinya menghampiri kursi tempat aku duduk, kembali bergetaran dinding jiwa ini, ketakutan yang manusiawi sekali, apa yang akan kembali dilakukannya ? hawa kamar ini, langsung menjadi dingin serupa makam, perasaan tidak enak yang menghujan. Aku tidak siap menanti hal yang kotor berupa kata dalam kalimat yang menindihku. “ Kemana lelaki itu ? katanya akan datang memberiku tolong.. “ dalam batinku bicara.
Bau nafas itu membuat perutku mual, bau nafas yang mendatangi belakang telingaku, bibir yang menciumi tengkuk, desah yang suaranya parau, kata demi kata terucap menghunus telinga serasa pedang, “ Aku pergi mencari rahim yang beranak.. “ mengecup kulit rambutku dan menodai wanginya.
Sialan.. tangan ini semakin mengeras, dan basah.
Ini saatnya. Persetan dosa, amarah harus selesai malam ini. Tidak akan terbawa dalam cerita mimpi tidurku nanti malam.

Tiba – tiba ada ketukan pada pintu.

Aku berdiri dari yang duduk, bau itu masih di belakangku, memenceti bokong dan terus tertawa penuh sindiran, tarikan nafasku tambah tidak beraturan, aku ingat betul ini yang aku rasakan, ketika suatu hari bertemu dengan lawan main pada ujian karate ku, untuk mendapatkan sebuah piala saja ( bukan uang ), bedanya, kalau dengan yang itu, aku menatap matanya tajam dan jalang, sementara yang ini, aku mengendusi baunya yang jalang dengan bauku yang menyala.

Pintu semakin kencang diketuk. Aku berdiri berlari menuju pintu, seiring lampunya mati. Lama matinya….
Tiba – tiba ada yang tertawa dalam gelap. Lama tertawanya. Gantian, karena dari tadi, aku hanya diam.

Aku masih duduk di Gereja, pindah duduk ke bangku paling belakang, sepasang suami isteri dengan anak perempuan di sampingku itu, menatap keheranan. Berada di bangku yang baru, memberi kenyamanan. Aku khusuk berdoa, mendengarkan firman Tuhan, lalu berdiri dan tenggelam dalam antrian panjang penerima hosti. Aku ada di sana, berdiri dengan tangan yang dikatupkan di depan dada. Suasana menjadi dingin, seketika aku berubah ketakutan, ketika semua orang tiba – tiba mempehatikan aku. Semuanya. Mereka memandang dengan tatapan yang sinis, seakan – akan aku yang jalang. Padahal aku korban, coba kalian ada di posisiku. Persetan. Aku mau meminta tubuh dan darahNYA bukan, meminta perhatian kalian.
Karena permainan imajiku, aku tidak sadar kalau aku sudah sampai di depan romo, aku segera membuka katup tanganku, dan hangat menerima yang Kudus di tanganku.
“ Tubuh dan Darah Kristus.. “ katanya tegas. Aku menjawab dengan tegas juga, “ Amin..” dan kembali ke posisi semula. Mengunyah hosti di dalam mulut, tapi hosti tertempel di langit – langit, ada mitos yang berkata, kalau seperti itu, artinya banyak dosa yang menempel. Aku juga tidak pernah percaya, tapi pagi ini, mitos itu menempel. Hosti itu menempel.
Duduk, berlutut dan lalu berdoa, bulir – bulir hangatnya air mata, jatuh menetes.
Mengapa seperti ada yang luka ? mengapa sesak dada ini meminta pengakuan, kemana dendamku ? dia memperdayai aku, dan aku adalah pemenangnya. Tapi kenapa, aku seperti jadi pecundang ?
Apa karena, Roh Kudus sudah menyatu dalam aliran darahku, menepis marah jadi sebentuk sesal, sesal yang jatuh berjatuhan di lantai gereja, aku memungutinya, tidak peduli banyak mata yang memandangi curiga. Aku menangis dan berlutut jatuh sampai ke tanah. Aku membasahi lantai Gereja dengan air dari mataku. Mata yang tadinya berwarna merah karena amarah.

Aku tidak kuat lagi, sebelum misa selesai, aku lari keluar bangku, mengambil air suci, membentuk tanda salib, dan lari keluar pintu, terus lari sampai ke goa maria. Terjatuh di sana, melihat ke bunda yang terus tersenyum, aku menangis sambil memegang perutku.
“ Bunda, mengapa rahim ini Kau biarkan lama kosong ? hingga hidupku seperti perempuan tanpa kehormatan, dihujani kalimat pengosong jiwa, lalu nekat berbuat dosa.” Kata kataku meluncur masih duduk di lantai.
Hari itu, gereja belum usai, goa masih kosong.
“ AKU BERDOSA… !!! “ teriak histeris tertahan, sambil memukul – mukul lantai taman. Lalu, beranjak memukuli perut. Menangis seperti perempuan gila yang tanpa Tuhan ( padahal dia ada di Gereja ).
Seperti ada udara dingin menghampiriku, mengajakku berdiri dan mengatupkan tanganku, menggerakkan mata untuk melihat ke depan, menguatkan kakiku, dan membuka mulutku, untuk segera merangkai doa, supaya batin diliputi ketenangan, seperti anak kecil, aku tidak tahu itu kekutatan apa, tapi aku tidak kuasa untuk menolaknya, aku biarkan semuanya digerakkan sebuah zat itu, zat yang membuat hatiku dingin, dan suara – suara yang sama berbunyi mengikuti alunanku,.

“ Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertaMU, terpujilah Engkau di antara wanita, dan terpujilah buah TubuhMU Yesus... “ terdengar rangkaian doa yang lain melanjuti dari belakang badanku,

“ Santa Maria bunda Allah, doakanlah kami dari yang jahat, sekarang dan waktu kami mati.. amin “ dan lalu semua orang yang terlihat sudah ramai di sana, sama – sama berlutut dan menggerakkan tangan untuk membuat tanda Salib.

Ya Tuhan, gemuruh itu lambat laun selesai, seperti teringat sesuatu, aku berlari keluar dari taman ini, dan bergerak ke halaman belakang Gereja, mencari Romo, yang tadi memberiku hosti. Gegap gempita cahaya dalam ruang hatiku. Romo itu kaget melihati aku, lantas berjalan setengah berlari ke arahku, seperti tahu, kalau aku sedang menungguinya.
Sekarang, Romo sudah ada di depanku, menopang tangannya di kepalaku, memberikan bait – bait doa, doa yang dibalas dengan jatuhan air mata tanpa suara, hanya turun naik nafasku membuat aku ingin menjerit.
“ Saya mau pengakuan Romo.. “ kataku membuka mata tiba – tiba, tangan yang ditopang itu lantas turun juga bergegas. Romo seperti paham sesuatu, waktunya tidak banyak lagi, lantas membawaku ke ruang pengakuan, kami masuk. Roma memakai Stolanya.
“ Pengakuan saya yang terakhir setahun yang lalu.. “ kataku kemudian,
“ Dosa saya adalah… “ seketika, lidah tercekat tidak mau bicara. Dalam memandang Romo yang ada di depan mata, tangan gemetar, mengambil rosario dari dalam saku bajuku.
Ingatan melayang kepada tubuh yang sekarang masih ada di kamar dengan ikatan yang mengunci tangan, kaki dan mulutnya. Badan yang tergolek lemah di atas tempat tidur tamu yang dikunci dari luar.

Malam itu, setelah perkataan demi katanya itu, aku kalap. Aku keluarkan segala daya yang tertahan begitu lama, mendengar ketukan di pintu, aku segera berlari mengejar pintu yang segera dibuka, tapi tangannya yang kokoh, menghalangi langkahku, aku balikkan badanku, mengambil tangannya, dan membelokkan ke belakang punggungnya, begitu juga tanganku yang lainnya, seperti kesetanan, lelaki itu berontak. Tapi aku lebih dari kesetanan, dengan sisa kekuatan yang dirampas oleh air mata, aku paksa masuk gunting hitam dari atas meja ke dalam perutnya, ada lenguh kesakitan menyelesaikan episode tragis kisah perempuan yang rahimnya kosong. Aku tertawa yang lalu selesai di dalam gelap. Sengaja aku matikan lampunya.
Dan ketukan pintu berhenti. Tidak ada lelaki itu yang membantuku. Aku sendirian.
Aku tarik badan tanpa nyawa itu melantai, dan bicara di depan mulutnya yang hitam, karena kecanduan nikotin.
“ Wanita mandul ini memang PEMARAH, sayang.. “ teriakku geram, di depan telinganya, kembar seperti yang pernah dilakukannya.
Mematikan lampu, lalu keluar kamar.

Malam bergerak terlalu pelan, memanjangkan waktuku untuk tertawa, sambil ikutan berasap, tapi tidak mengerling dan tersenyum sinis. Karena orangnya, sudah tidak di depan mata lagi.
“ Ada di dalam, tidak bisa ketawa lagi, dan mulutnya tidak kotor lagi.. “ aku tertawa, dan dari mulutku terus menghisap dan mengeluarkan asap.
Jam sudah menunjuk pukul empat pagi. Dua jam lagi, gereja pagi dimulai.


Kembali di ruang pengakuan.
“ Saya tidak membunuhnya Romo, hanya memberi pelajaran pada mulut kotornya.. “

“ Terlambat, saya sudah datang dan mengetuk pintu.. “







The end
( perempuan berahim kosong ini juga manusia )

CINTA INI MASIH SAMA ( DULU, SEKARANG DAN SAMPAI NANTI )

Hari ini tanggal 13 maret. Tanggal yang sudah sejak sebulan yang lalu kutunggui kehadirannya, kalender meja di kantorku sudah aku beri tanda bulat di angka 13. Baju cantik dari designer kenamaan, sudah lama aku pesan ( tanpa peduli harganya, karena aku hanya ingin tampil cantik ) dan seorang asisten dari butique terkenal itu, barusan sudah menghubungiku, dan meminta untuk datang mengambil barang pesanan. Duh, aku tidak sabar ingin segera mengenakan gaun itu, dan memamerkan lekuk tubuhku yang masih indah ( walaupun sudah beranak dua ) kepada seorang lelaki yang dulu sempat menjadi tamu istimewa setiap mimpi malamku, seorang lelaki yang dari mulutnya selalu keluar kata cinta. Setiap pagi, siang bahkan malam sebelum aku terlena oleh mimpi. Tidak lupa aku keluarkan parfum mahal, dari dalam tas, tidak menunggu waktu lama, untuk menyelimuti tubuh indahku dengan wewangiannya. Ehmmm.. tidak sabar untuk menyuguhi hidungnya dengan wangi tubuhku, sengaja aku pakai parfum yang masih sama sepeti yang aku pakai dulu.

Di depan cermin, di dalam kamar, aku teramat asik memolesi wajahku yang rupawan dengan peralatan make up, keluaran terbaruku. Cermin di depanku ini pasti setuju, kalau aku pasti akan jadi perempuan paling cantik di sana, dan khayalku berkembang meminta lelaki itu menghampiriku mengucapkan kalimat pujian yang sama. Polesan terakhir pada wajah cantik ini, adalah lipstik merah untuk bibir ranumku ( ranumnya masih sama, dari sejak terakhir kamu mencium aku sayang..). Sengaja, aku gerai rambut panjangku, panjang yang bergelombang, menambah aroma seksi malam ini. Sempurna..!! Aku yakin, semua mata akan mengikutiku ( terutama matamu sayang ).

" Bi.. tolong ambil kunci mobil saya. " teriakku pada perempuan separoh baya, yang sudah menghabiskan separuh usianya bekerja di sini. Tergopoh - gopoh, perempuan setengah tua itu, berlari sambil menyerahkan kunci. Tanganku yang dihiasi perhiasan, di kanan dan di kiri, menerima kunci itu dan pergi melenggang ke luar pintu, bibi masih setia mengikutiku.
" Nyonya, tidak bersama pak Pardi ? " tanyanya hati - hati, melihat aku langsung masuk ke dalam mobil tepat di belakang kemudi. " Tidak usah bi, biar saya bawa sendiri, urusan saya panjang hari ini.. oh iya, kalau Tuan telpon, bilang saja saya ada acara reuni SMA .. " kataku sambil menyalakan mesinnya, baru saja mau melaju, bibi sudah bertanya kembali, " Nyonya, kalau tuan tanya tempatnya ? "polos betul bibi ini, patas saja suamiku dan aku sangat mencintainya.

" Bilang saja, kamu tidak tahu, karena aku juga malas memberi tahukan, takut dia menyusul.. hehe " setelah kata - kata itu, aku dan mobilmu keluar pagar, dan melaju menembus macet jalanan, dengan dada yang tidak berhenti bergetar, dan bibir yang tidak lepas bersenandung. Mencoba untuk mengingat kembali lagu kenang - kenangan kami berdua. Sepanjang perjalanan, aku mencoba untuk merangkai cerita - cerita yang dulu sempat menahun terangkai. Cerita cinta yang indah, teramat indah. Apalagi saat ada kata terlepas dari mulut untuk menuturkan kalimat cinta. Aku tersanjung, mukaku merah, muka beliaku merah seperti tomat. Tanganku dingin, ketika tangannya meraih tanganku dan menyusunnya di dalam tangannya. Tidak sungkan, melabuhkan ciuman di atas punggung tanganku. Sementara aku, hanya menyusun kekuatan, supaya tidak jatuh pingsan. Akhhh.. aku mencintaimu Firman.

Jalanan yang macet ini, benar - benar menguji kesabaranku, sesekali aku melirik jam tangan di pergelangan tanganku. Sudah jam empat sore, sementara acara mulai tepat pukul lima sore, mudah - mudahan halangannya hanya sebentar. Sungguh lucu, setelah belasan tahun yang lalu, hati ini masih saja sumringah setiap kali, aku menyebut namanya. Aku menyetir sambil terus tersenyum, sepertinya Firman adalah salah satu mantan pacar terbaikku, mantan yang namanya tidak pernah terlepas dan pupus, bahkan cinta ini masih terus tersisa di dalam dada. Cinta ? akhh.. masih pantaskah, aku mengucapkan kata itu ? khususnya untuk Firman ? seorang lelaki dalam bingkai asmara masa remajaku. Mengapa sukar melepas kamu ? Kamu, cinta pertamaku, dan akan selalu jadi seperti itu, walaupun sekarang aku sudah beranak dua, dan menikah dengan seorang lelaki yang baiknya sedunia. Kamu, kalah baiknya dengan dia. Tapi, Dia kalah menariknya dengan kamu. Entah kenapa waktu dulu kita harus berpisah. Aku sudah lupa. Aku sudah tidak mau perduli lagi, aku hanya ingin bertemu kamu.

Ada teriakan bahagia, ketika pertama kali Nancy, seorang sahabat datang ke rumah dan membawa berita gembira, kalau tanggal 13 maret, akan ada reuni SMA. Berjingkak aku mendengarnya. Melompat - lompat seperti anak kecil. Akhirnya, ada jalan aku untuk bisa menemuimu. Aku tidak pernah tahu, kamu ada dimana. Aku cari di fesbuk, tapi tidak ada nama kamu.

" Beneran say ? kita akan reuni ? " tanyaku saat itu, ketika Nancy mengurai undangan. " Iyalah, masa aku bohong.. kamu bisa datang kan ? " tanya Nancy dengan nadanya yang masih sama polosnya, seperti Nancy yang dulu. " Pasti datanglah.. kamu pikir, aku akan menghilangkan kesempatan untuk bisa bertemu dengan Firman.. ? " kataku sambil terus memeluki Nancy, dan tertawa bahagia.

" Pliss.. jangan main api, aku tidak mau kamu terbakar.." suara Nancy seperti suara ibuku yang kerap menasehati aku, kalau aku sudah mulai nakal. Aku tidak terlalu menanggapi Nancy, aku masih asyik masyuk dengan khayalanku dengan Firman. " Clara.. ?? helloo.. dengerin aku ga sih kamu ? " Nancy mulai bete, karena aku malah melamun. " Aku dengerin koq, jangan takut.. apinya aku nyalain kecil koq.. jadi kemungkinan untuk meledak dan terbakar itu sangat kecil.. " kataku masih mempermainkan Nancy. Mendengar kalimat itu, Nancy langsung cemberut dan menekuk wajahnya. Maaf Nancy, aku terlalu gembira.

Sampai di butiq ternama itu, aku turun setengah berlari, masuk ke dalam ruangan yang dingin berAC, segera mencari seseorang. " Saya mau ambil gaun pesanan saya ? " kataku tidak sabaran. Perempuan di balik meja resepsionist itu mengarahkan aku pada ruangan tepat di sebelah kanan, pojok lobby. Seorang lelaki jadi - jadian sudah siap menyambut aku, " Haiii.. mba Clara kan ? yuuukk, sutra ditunggu cinnn.. baju jej oks bangettt dehh.. " katanya dengan bahasa - bahasa yang asing di telingaku. Hatiku bersorak, melihat gaun yang megah dan cantik ini sekarang di atas pangkuanku. Wow.. aku tidak menyesal, dulu dijodohkan sama kamu papi ( walau harus mengorbankan Firman ), karena aku bisa merasakan memakai gaun dengan harga yang lumayan banyak angka nolnya. Di ruag ganti, aku langsung buru - buru minta dipakaikan gaunnya, selesai memakainya aku keluar ruang ganti, dan mulai mematut diri di depan cermin di ruang tamu.

" Wow.. cantak banget cinn.. kayak puteri.. dasar yah, cewek kewong, dipakaiin apa aja, tetep aja cantak. " kata lelaki jadi - jadian itu kepadaku. Membuat mukaku kembali jadi merah. Aku siap mendatangi kamu sayangku.. Setelah selesai urusan baju, cipika dan cipiki, akhirnya aku pergi ke tempat acara.

Parkiran gedung ini, begitu luas, apalagi aku sendiri, tidak memakai supir, jadilah aku berjalan dari parkiran masuk ke dalam ruangan. Dag dig dug bunyi jantungku, tatkala langkah kaki ini mulai masuk ke ruang utama. Di sana, sudah banyak teman - teman SMA, yang kaget melihat aku. Khususnya penampilannku. Seperti artis, kata mereka. Aku mulai teriak - teriak ketika melihat satu demi satu teman terbaik di masa lalu. Tapi tetap saja, mata ini mulai nakal mencari Firman. Berbincang dengan mereka hanya sebagai alat, supaya kedua bola mata ini bersatu dan sungguh mencarinya. Sepanjang mata memandang, aku belum mendapatkan sosoknya.

Sambil mengambil minum, aku sedikit kecewa. Ada helaan nafas kecilku tepat di depan meja makan. Makanan yang tersaji sangat lengkap ini, seperti mengerti mengapa Clara terlihat tidak bersemangat. Banyak yang meminta untuk ngobrol bertular cerita dan bertukar foto, tapi pandangan tetap menerawang. Dan masih belum kelihatan.Duhh.. pliss, jagan katakan kalau kamu tidak bisa datang. Sampai ahirnya, ada yang mencolek punggungku, aku berbalik pelan, dan...

"Apa kabarmu my Clara ? " suara yang amat kukenal. Aku berbalik dan jantungku serasa mau copot, melihat Firman sudah berdiri di depanku, mengulurkan tanganku mengajak bersalaman. Dalam hati aku bersorak dan teriak - teriak, tapi yang keluar dari tingkahku malah menyebalkan, aku tidak siap dengan perasaanku sendiri. " Ba..baik.. sangat baik." kataku terbata. Firman tersenyum, manis sekali. " Kalau kamu ? " aku balas bertanya. " Baik juga.. masih seperti ini. jadi workholik, dan masih single.

Hah??? single. Ya Tuhan. Kalau saja aku.. akh.. kutepis andai - andai dalam kepalaku. Aku ajak Firman duduk di sofa keluar ruangan, tepatnya di pingir balkon. Jauh dari keramaian. Memandang keluar dan menghirup udara malam yang penuh bola - bola cinta. Firman menolak untuk duduk, dia malah membimbing aku untuk berdiri di depan balkon, sekarang, kita berdua sudah seperti puteri dan pangeran. Bahkan langit dan isinya menatap penuh cemburu ke arah kita berdua. Firman tidak pupus melihati aku terus, aku sampai berulang kali menundukkan kepala. Masih berdiri bersampingan, aku sampai mati kutu, tidak tahu mesti harus berbuat apapun, apalagi ketika tangan dan jari jemari Firman menelusup masuk dan menggenggam tanganku. Sekarang kami sudah bergandengan. Walaupun belum bercerita.

" Kenapa kamu belum menikah ? " tanyaku sambil mata menghadap ke atas langit, tapi tangan masih tetap bergandeng. " Aku masih mencintai seseorang, sampai sekarang.." kata -katanya seperti menggantung, membuat tanganku berkeringat. " Siapa perempuan yang beruntung itu ? " tanyaku pelan, tapi mata tetap tidak melihat ke arahnya. Setelah pertanyaan itu, Firman membimbing lagi badanku bertemu muka dengan badannya, jadilah kami berhadapan. Ya Tuhan, aku masih belum bisa mengatur deru nafasku yang berkejaran. Tolongg.. aku jadi tidak bisa bernafas.. Firman mendekati wajahnya ke depan wajahku, sekarang jarak kami semakin pendek. wangi nafasnya mendorong hati untuk segera bertindak, tapi aku tidak berani. Aku bukan Clara yang dulu. Aku bersabar menunggu jawaban Firman, yang akhirnya mampir juga di telinga sebelah kiriku, mulut Firman bersembunyi sebentar di sana, " Perempuan itu.. Kamu.." katanya menghadirkan debaran kencang. Kencang sekali.

" Maafkan aku.." kataku lirih, dengan mata yang sudah mulai berair. " Maaf untuk apa ? " jawabnya sambil jarinya menghapus air yang mengalir di wajahku. " Maaf untuk cinta kita yang sudah selesai." kataku lagi, suara yang parau itu membuat wajahku menunduk. Firman dengan kesabaran yang menggunung itu, mengambil wajahku dan memberi kecupan kecil di pipiku. Semburat rona merah langsung keluar seketika. Ya Tuhan, cerita indah belasan tahun yang lalu, mampir lagi di benakku. Aku masih ingat, ketika Firman pertama kali mencium pipinya di kantin, ketika waktu sudah sore, senja menampakkan wajahnya yang berwarna merah, sama seperti merahku sekarang. Akhh.. Firman, kenapa, kamu tempelkan lagi cerita kita dahulu. Aku ingin sekali membalas ciuman itu. Ingin sekali.

Kenapa aku jadi tolol seperti ini, kemana niatan nakal yang sudah aku rencanakan dari rumah tadi, kenapa jadi diam seribu bahasa seperti ini, bahkan ketika Firman menarik badanku, dan mengikatnya dengan tangannya di punggungku. Aku bahagia. Pelukan yang paling indah, terhangat dalam hidupku. Aku pikir, aku akan diam. Tidak, ternyata aku mengaitkan juga tanganku di punggungnya, dan aku merasakan ada sentuhan bibirnya di pundakku. Pundak tanpa baju, hanya bersisa kulit. Semua sentuhan ini, sungguh merangsangku. Amboii.. kenapa hadir lagi, suka cita romantisme masa laluku..

" Aku mencintai kamu Clara, dulu, sekarang dan selamanya, tidak akan pernah berubah." kalimat itu keluar juga dari mulut Firman. Aku kaget dan mendorong badannya menjauhi badanku. " Kenapa ? " tanyanya kaget. Aku mundur selangkah. " Ini tidak mungkin lagi Firman, aku sudah bersuami dan sudah beranak dua.." kataku berbohong, bohong pada perasaanku sendiri. " Pergi, enyah kamu dari hadapku.. "kataku berbohong lagi. " Clara, katakan kalau kamu juga masih mencintai aku ? " teriaknya pelan, dan mengambil tanganku, aku langsung menepis tangannya, dan mulai juga berteriak, " Tidak..!! aku tidak pernah mencintai kamu.. thats why aku meninggalkan kamu, dan sepakat untuk dijodohkan oleh orang tuaku.. ". Firman masih terus berusaha menggapai tanganku, dan meyakinkan perasaanku, " Tidakk.. !! kamu tidak pernah mencintai dia, hanya aku yang kamu cinta.." teriaknya di depan mukaku. Aku diam dan menunduk.

"Pergi Firman.. kamu hanya masa lalu untukku." suaraku pelan. Setelah itu aku menunduk. Suasana hening, hanya bunyi angin, tidak ada lagi. Untuk beberapa saat aku terdiam, dan kemudian mendongakkan wajah. Firman sudah tidak ada. Aku panik, aku berlari mencari sosoknya, aku mengangkat gaun mahalku dan berlari mengelilingi ujung balkon, tapi nihil. Firman sudah pergi. Aku lemas dan terduduk di lantai, tidak peduli lagi dengan mahalnya gaun. Aku merunduk dan menangis. Aku menyesal, padahal hanya malam ini, aku bisa katakan perasaanku yang sebenarnya juga.

"Aku juga mencintai kamu Firman.. " teriakku lirih, dan kemudian seperti anak kecil memukuli lantai, dan membiarkan air mataku jatuh membasahi lantai. Seperti mimpi, ada sentuhan lembut mengusap kepalaku dan membiarkan bibir lembutnya menyentuh anak rambutku, perlahan tapi pasti , aku mendongak ke atas, kaget dan tersenyum. Firman bicara sambil duduk melantai, " Aku mencintai kamu, walaupun tidak bisa memiliki.. " Firman merunduk, membiarkan air matanya turun membasahi lantai, aku menggeser dudukku dan sekarang ada di depan Firman, mengambil mukanya, aku angkat ke atas sejajar dengan mukaku yang juga sudah berair, aku sapanya bibirnya dengan bibirku. Betah, lama terkunci.

Ketika bibir sudah saling terlepas, kami berdua berdiri, kembali berpelukan, membasuh muka yang lengket air mata dengan sapu tangan, bergandengan berdua, berjalan menuju pintu masuk ke arena pesta lagi, sampai di sana... pegangan tangan sengaja dilepas, dan aku memisahkan diriku dengan dirinya, tapi tidak juga saling melepas pandang. Sampai akhirnya, aku kehilangan dia yang sudah tenggelam dalam kerumunan orang di pesta.

Baru saja mau mengambil minuman dari atas meja, seperti tersadar, aku menepuk jidat berulang kali, kenapa aku lupa meminta nomor teleponnya. Menarik nafas panjang, dan minum air bergelas - gelas, menghilangkan rasa kecewa.

Tolol.





the end.
( untuk seorang teman, yang sampai sekarang msaih merindui mantan kekasih yang entah ada di mana dia sekarang )

CINCIN

Tidak sabar aku membiarkan langkahku berlari masuk ke dalam kamar, membuka ikatan rambut, mengurai yang panjang hitam ditarik ke belakang, sesekali mencuri lirikku pada jam yang tergantung di dinding sebelah percis meja riasku, terlepas kaki jenjang dari sepatu, dan dilepas baju seragam yang menghimpit, begitu juga cincin di jari manis ini, sekarang, tinggal kulit putih yang halus tanpa ikatan sama sekali, berlari kecil sambil senandung mulut kecilku juga, mendapati bak penuh air, mencuri banyak airnya pindah membasah sekujur tubuh, dinginnya meresap sampai ke hati, apalagi sambil membayangi lelaki yang sebentar lagi mengetuk pintu, dan mencium wangi tubuh dari celah – celah lubang kunci, memohon ikut masuk, dan mengajak bercerita tentang penatnya hari. Tapi, sampai lepas semua daki bercampur air, terbuka pintu terburai bersama wangiku, dia, belum juga pulang.

Kembali aku mencuri lirik pada jam dinding yang tergantung di sebelah kaca rias, jam yang jarum pendeknya rebah di angka sepuluh sementara jarum panjangnya turut juga merebahi angka dua belas.
“ Aku menunggumu..” desahku tipis,

Sejam sudah bergeser, aku masih duduk di sini, di depan kaca rias yang bangga memiliki wajahku di dalamnya, berbanding terbalik dengan aku yang mukanya sudah penuh tanda tanya. Rambut panjang yang semakin berpisah dengan basahnya, sudah bosan tersisir tanpa perlu untuk menghitungnya. Tubuh wangi dengan balutan kain seadanya, sekarang sudah bercampur dengan asap yang mengepul mengajak bercanda. Tangan dengan jari mengepit batang rokok. Melihati cincin yang sudah terlepas dan diam di depan kaca.
“ Aku sedang tidak enak hati, aku tidak menikmati asapmu “ kata mulutku membiarkan semburan asapnya tidak beraturan.
Lalu berdiri, bergerak membuka pintu, menyambut angin malam, yang terpesona melihat yang cantik di depan pintu. Mata bergerilya mencari tubuh dalam gelap berlalu menghampiri pintu tempat aku berdiri. Nihil..!! bahkan tidak ada terang dalam gelap, yang ada hanya kepala – kepala dengan muka – muka nakal mereka, lelaki dan perempuan, banyak pasangan, keliaran tidak membuang pandangannya padaku. Aku kesal, menyambut langkah mereka melewati pintuku dengan berteriak, “ Mata kalian nakal.. !!!“
“ Belum datang yang ditunggu ? “ ledek mereka lagi.
“ Taiiikkk.. !!! “ teriakku pada mereka.
“ Cantik mulutnya kotor..” teriak mereka balas mengecam.
Aku tidak membalas, hanya sekarang, memunggungi mereka dan mempersembahkan ejekan dari pantatku.
Mereka tertawa, aku masuk dan kembali dalam sesak, sementara angin sejuk tertinggal di luar. Aku mulai mengutuki orang – orang dari pavilion sebelah.
Sepeninggal tawa yang semakin menghilang, aku menggantikannya dengan tawa dari layar kaca televisi. Mereka dari balik layar, berhasil menularkan tawa itu, dan sekarang mulutku penuh tawa, sampai sulit untuk bernafas, tangan memegang perut, remote jatuh ke lantai, aku tidak peduli. Aku lupa pada marahnya yang sampai tadi masih setia, sampai akhirnya gambar di tivi berganti menjadi gambar sepasang kekasih yang sedang bercinta.
Seorang perempuan dengan sorot mata berisikan cinta, disambut mesra lelaki dalam sorot yang sama pula.
Aku merasakan sorot itu mulai tertular juga, tapi lantas kecewa, ketika memalingkan wajah pada kursi di sebelah yang masih kosong.
“ Huhh.. berapa lama lagi menunggu.. ?? “ mataku mulai kesal pada gambar dalam tivi yang semakin mesra, tanganku mencari remote di lantai, menghitamkan layarnya dan melempar remote keluar jendela. “ Sekarang aku tidak akan pernah bisa melihat adegan itu, dan merasa cemburu karenanya..” dan aku bisa tertawa, walaupun rasanya masih sesak.

Jam dinding, yang masih terus setia bergerak, menoleh tidak enak, aku tahu, bukan salahnya, membiarkan jarum pendek dan jarum panjang itu terus berlalu. Aku menyesal, membuang remote ke luar jendela, kalau memang bisa aku lempar ke muka jam dinding yang tergantung di dinding sebelah meja rias. Harusnya malah, tidak ada jam itu di sana, biar aku tidak pernah tahu, sudah semalam apa sekarang, dan sudah seperti apa rasa bosanku yang meradang ini.
Bahkan wanginya sekarang sudah pergi, berganti keringat yang keluar dari amarah.
Aku teringat percakapan sebelum langkah keluar kantor, dan mendapati yang sekarang kosong.

Di meja kerjaku, seorang kawan, tersenyum melihatiku terus, tidak bergeming bola matanya. Aku tertegun, menoleh ke arahnya dan mulai tersipu dengan raut merahku yang terpamerkan.
“ Kenapa ? “ aku bertanya, tapi tangan masih bekerja terus.
Seorang teman tidak melepas pandang, malah sekarang, mendekat dan mencari tahu.
“ Kenapa mukamu ? “ dia malah balas bertanya.
Aku mengerutkan kening, tersenyum, dan memberi pukulan kecil pada dada, pukulan yang segera ditangkap oleh tangan kekarnya.
“ Mukaku, masih sama, sekarang dan selamanya.. pertanyaan bodoh .” kataku sambil menjulurkan lidah dan mengacak rambut lelaki dengan bola mata yang hampir sama dengan bola mata lelaki itu.
“ Cinta..” pelan mulutnya berkata, sangat pelan, karena dia berkata tepat di telingaku, bibirnya nyaris menempeli telingaku. Sumpah, aku bergidik. Tapi setia ini akan terus terbawa sampai mati. Aku tidak akan pernah menggantikannya dengan rasa yang lain, yang tidak sepadan dengan setia.
“ Jangan bodoh.. mata semua perempuan yang sedang jatuh cinta, nyaris sama.. “ kataku sembarang, hanya melirik, mengerling dan terus bekerja.
Lelaki yang wanginya meniru lelakiku itu, sekarang semakin berani, merebut tanganku, yang masih menempel pada keyboard komputer dan dengan berani, menempelkannya pada dada.
Aku sontak kaget, dan menarik tanganku, tapi tangannya terlalu kuat untuk aku lawan. Bukannya meminta maaf, dia semakin garang menawarkan sebuah rasa. Darinya untuk ku.
“ Jatuh cintai aku.. ?? “ pertanyaan yang bodoh. Aku bergegas ke luar tempat duduk, dan membuka pintu ruangan yang dari tadi tertutup rapat, biar berkurang, gerakan yang semakin berani dan brutal itu.
Untung saja, sekarang jamnya makan siang.

“ Aku mencintai kamu ? “ sekarang, aku yang balas memandangi mukanya, tersenyum dan menarik alisku ke atas.
“ Aku masih banyak pekerjaan, silahkan keluar.. !! “ tanganku menunjuk pada pintu.
Dia tidak juga bergeming. Aku apalagi.
Kita – kita sama beradu saling kuat dalam diam. Tenang saja, dia pasti kalah, karena sebentar lagi, ruangan ini akan penuh dengan mata – mata yang akan menusuk bola matanya yang indah ini, dengan kata – kata yang tajam, seperti “ PERGI…!!! “ aha.. aku menantikan saat itu datang.

Tapi dia terlalu pintar,
“ AKU MENCINTAI KAMU… “ aku memandang tulisan dalam kertas yang ditulis oleh jarinya, yang juga dilingkari cincin teramat manis, di jari manisnya.

Dan dia pergi, sambil membanting pintu.
Aku mengambil kertas itu, meremasnya dan menangis.
“ Sialan.. aku juga tidak akan pernah berhenti mencintai kamu… monyettt.. Monyet yang keras kepalanya...!! “ teriakku dalam hati, dan lalu melempar kertas yang sudah lecek itu masuk ke dalam kantong sampah, sebelah mejaku.

Dasar lelaki keras kepala.
Lelaki yang selalu melotot setiap kali aku menyimpan cincin kawinku, dan mengambil cincinnya juga, setiap kali bertemu dengannya pada jam makan siang, dan yang lalu memakainya lagi, kalau sudah bertemu dalam agenda meeting setiap minggunya.
Lelaki yang selalu jadi sejarah, sampai hari ini. Dan hari – hari berikutnya yang akan segera datang mendekat.
Bahkan pernah membuatku lupa pada yang tercinta. Tapi selalu bisa membuatku sejenak menyimpan cincin kawinku, dan tetap memaksanya juga menyimpan cincinnya, setiap kali walau hanya untuk sekedar memberi dan diberi ciuman selamat malam.
“ Kenapa harus terus menyimpan cincin ? “ protesnya suatu kali.
“ Aku hanya mau mencium dan dicium tanpa terlihat oleh dia “ kataku enteng, tanpa mutu, sambil menunjuk ke arah cincin yang tersimpan rapi di dalam tas.

Aku tertawa terbahak – bahak.
Dia juga sama terbahaknya.
Lalu pertemuan selesai dalam ciuman, dan cincin tetap sembunyi di dalam tas. Sampai ciuman kami.. selesai..


Sudah lewat dua jam.
Badan sudah bolak balik di atas ranjang, handbody sudah disapu ke setiap sudut tubuh, pewangi kelas atas, sudah disemprot tanpa batas, ruangan ini sudah digelapkan sedikit, supaya aroma percintaanya menguap kental.
Tapi..
Percuma..
Lelaki yang bahkan baunya pun tidak sampai ke sini, puluhan misscal, tidak membuat dia datang.
Aku mengambil kertas yang bertuliskan “ AKU MENCINTAI KAMU “ yang sudah lecek, dan merapikan kembali seperti gerakan menyeterika, membalikkan kertasnya, dan melihat tulisan lain disana.
Ajakan untuk bercinta selepas bekerja.
Di sini.
Aku berangkat duluan, sementara dia menyusul kemudian.
Tapi, ternyata..
Percuma.
“ Pecundang…” teriakku meradang, meloncat dari tempat tidur, menyambar seragamku, mengenakan rok hitamku, menguncir rambutku, mengambil tasku, dan sebelumnya, mengambil cincin kawin dari depan kaca, dan kemudian memakainya kembali.
Sebelum keluar, aku mematikan lampu, dan membiarkan kertas lecek itu, ada di atas ranjang, sebagai barang bukti.
Mengayun langkah ke lobby, bercengkrama dengan resepsionist yang lalu menyerahkan kunci kamar itu, bersama selembar kertas makian di atasnya, kertas tanpa amplop ( mudah – mudahan perempuan cantik ini, tidak tergoda untuk membacanya ).
Dan aku pergi.

Selangnya hanya sedikit, sampai lelaki yang sangat aku kenal itu, berganti masuk dan menyapa perempuan yang sama. Perempuan itu menggeleng, dan lelaki itu kecewa.
Aku melihat dari sudut mataku, dan tertawa menyeleneh.
“ Terlambat.. aku sudah kenakan cincin ini, dan kamu sudah tidak berhak lagi.. aku menunggu terlalu lama..!! “ lalu pergi mengajak malam mengikutiku sampai yang tercinta berikutnya.

Malam terus mengekori sampai ke depan pintu yang lain, tangan yang mengetuknya, di balas, oleh tangan yang membuka pintunya, yang lalu menyembul muka dengan senyum khas, terbalas oleh senyum ku dan rangkulan bahagia seorang lelaki, ditariknya masuk badanku, dan menghempas langsung ke atas kasur.
Tarikan nafasku berantakan.
Lelaki dengan sesukanya menghantam aku, berikut nafsunya. Aku bergidik awalnya, tapi jadi kesetanan juga akhirnya.
Malah lelaki yang nafasnya tidak beraturan itu, sekarang jadi jatuh tidak berdaya, menahan gejolak tidak tertandingi.
Jatuh sampai ke lantai. Berdua bergumul, menyapu lantai, memeluk malam dengan desah kita.
Semakin kuat tangannya memeluk badan dan mendorong bibir masuki bibirnya, di belakang tubuh, jariku menguat mendorong cincin untuk keluar dari sana, dan sekuat tenaga aku mengambil cincin yang melompat itu dan akhirnya masuk ke dalam tasku. Meraba jarinya yang masih bercincin, dan memaksa cincin itu keluar dari sana, dan bergabung bersama dalam tasku.
“ Kenapa harus membuka cincin ? “ katanya sambil terus mencari tengkuk dan leherku.
“ Aku tidak mau mencium dan dicium yang lalu terlihat dan dilihat olehnya “ sambil sudut mataku menunjuk ke arah cincin dalam tas. Lelaki itu tampak tidak peduli.Ada yang lebih asyik dari pada mengurusi persoalan cincin.

Hal semacam ini seolah terus mengulang, sementara waktu tidak pernah mundur malah maju terus. Terus masuk ke dalam pintu yang tidak terkunci bahkan yang terkunci juga, dan jangan lupa melepas cincin.
Akhirnya, waktu sudah mengaduh.
Time Out…

Saatnya berpisah. Aku melepas, semua yang mengikat, dan membungkam lelaki yang malam ini tenggelam dalam peluh, dengan cinta.
Aku membiarkan tubuhku terikat rapi lagi, dan mengambil cincin dan kembali melingkarinya, di jari kami berdua.
Sebelum langkah kaki meninggalkan ruang, sengaja bibir mencium lelaki yang masih rebah dalam gelap, dan membiarkan kertas yang isinya hampir sama dengan tulisan lelaki sebelumnya itu, lecek tergenggam tangannya. Kertas yang tulisan cintanya tetap sama, tetapi diberikan malu – malu pada akhir meeting kemarin siang.
“ Sampai ketemu besok di ruang meeting bos.. kamu beruntung, karena aku tepat waktu.. “ kataku tersenyum, dan mengambili ratusan dari dalam dompet yang berserak.
Simbiosis mutualisme.
Adios amigos.

Keluar pintu, dan kembali bertemu dengan resepsionist cantik yang tadi juga, baru saja beberapa langkah, suaranya sudah menghentikan langkah tiba – tiba.
“ Dia masih menunggu.. “ yang cantik di depanku, menunjuk lurus seorang lelaki yang duduk di ruang tunggu, dengan mulutnya yang terus berasap.
Pandanganku lurus pada jarinya.
Cincinnya sudah tidak ada, persiapan yang baik.
" Tapi sayang, sudah terlambat... pakai saja cincinmu lagi.. " Aku hanya tersenyum kecut melihati mukanya yang terus mencari badanku diantara perempuan - perempuan yang lalu lalang di depan mukanya, dan aku lalu melangkah pergi, kali ini tidak menghampiri pintu yang lain, tapi keluar, menghampiri petugas yang membawa masuk mobilku dan membiarkan badanku hilang dibawanya.

Badan ini lelah tidak terkira, menghampiri pintu, mengambil kunci, dan membukanya sendiri.
Masuk ruangan, menyalakan lampu, dan melihat tempat tidur sudah berisi. Perlahan, aku melepas sesuatu yang menghimpit, apalagi kalau bukan cincin kawin ini, dia tidak masuk ke dalam tas, tapi dibiarkan sendirian di atas meja karena badan yang tergesa lalu masuk ke dalam selimut yang melambai – lambai. Badan yang jadi ada dua di sana.
Lelaki itu terhentak, melihat aku, bersamaan dengan matanya melihat jam dinding yang masih tergantung di sebelah meja rias, bola matanya yang harusnya merah karena marah, jadi berbalik sendu, ketika bibirku sudah menghadang marah dalam mulutnya. Aku kembali membuka ikatan rambutku dan mengurai senyum dalam ceritaku malam ini, lelaki itu mematikan lampunya dan melempari semua baju – baju hilang ditelan lantai.
Desah yang beradu, ciptakan harmoni suara yang masih sempurna, begitu juga sebuah tanya dariku untuk nya. Sekedar mengingatkan, “ Cincinmu sudah kau lepas ? aku tidak mau dicium dan mencium yang terlihat oleh nya “ sambil dalam gelap menunjuk ke arah cincinnya.
“ Aku belum mengenakan cincin .. “ suara keluar di tengah desing desahnya.
Aku kaget, melompat berdiri, meninggalkan kamu yang masih menganga tanpa busana, “ Aku tidak bercinta dengan lelaki yang tidak bercincin ..”
Marah, lalu pergi membanting pintu.

Jam setengah tiga pagi.
Mengetuk pintu, seorang lelaki dengan bola mata yang penuh cinta, menyambutku dengan senyum dan menarik aku masuk. Ruangan masih gelap, dia tidak berniat nyalakan lampu, dia juga tidak peduli kalau hari menjelang pagi, terus dia mengikat badanku, lantas menyerang mulutku dengan bibirnya yang hitam sekelam cerita malam ini yang tidak ada akhirnya. Membelai rambutku dengan tangannya, dan seperti tidak ada habisnya kekuatanku, aku mengambil tangan itu ingin rasanya menyatukan jariku dalam jarinya, aku akan selalu jatuh cinta, pada lelaki yang yang lebih lima tahun yang lalu menghiaskan cincin pada jari manisku ini.

Tiba – tiba, ada yang tidak bersentuh oleh jariku, spontan aku nyalakan lampu, dan berteriak histeris, seperti orang kesetanan, “ Cincin kamu dimana papa ? “




The end
( untuk perempuan yang tidak pernah berhenti bercinta, tapi terus setia pada cincinnya)