NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Minggu, 30 Mei 2010

PEREMPUAN GILA ITU ( IBU ) AKU

Aku tidak pernah malu setiap pagi melihat ibu terkapar di teras rumah, dengan pakaian minimnya yang basah tercium bau minuman keras, juga puntung rokok tercecer di samping badannya. Kalau sudah begitu, tugasku untuk memapah badan ibu masuk ke dalam kamar, menaikkannya ke atas kasur, melepas sepatu tingginya, menyelimuti badannya supaya hangat, bahkan aku tidak pernah lupa mencium keningnya, beberapa menit sebelum saya meninggalkannya sendirian di kamar.

Masih terngiang dalam ingatan saya, ketika ibu seperti kesetanan memukuli saya, katanya demikian, “ Dasar anak setan, tidak tahu diuntung, kenapa kamu kunci pintu ini, aku mau pergi..” teriak ibu, di depan pintu ruang tamu yang malam itu sengaja aku kunci, ibu teriak sambil memukuli badanku.
“ Aku tidak mau ibu pergi terus setiap malam, dan selalu pulang dalam keadaan mabuk, aku takut ibu sakit.” Teriakku di tengah kesakitanku malam itu. Mendengar penuturanku, ibu bukannya berhenti memukuliku, tapi malah tambah beringas, sekarang dia memaksa aku membuka pintu rumah dengan mulai mengancam, “ Oke kalau begitu, kalau sampai kamu tidak membuka pintu ini, jangan pernah berharap aku akan pulang lagi ke rumah ini, biar kamu sendirian ditelan hantu, aku tidak akan peduli “ ibu mengangkat rambutku dan menjambaknya, aku semakin tidak berdaya, aku putus asa dan menyerah, dengan keadaan lemas, aku merogoh saku celanaku dan menyerahkan kunci pintu ke tangan ibu, setelah itu, ibu mencampakkan aku jatuh ke lantai, lalu pergi berlalu.

Melihat ibu yang tergolek lemah di tempat tidur, selalu membuat aku sedih. Aku melihat wajah ibu sebentar dari depan pintu kamarnya, dan dengan hati – hati menutup rapat pintunya.
Biasanya, aku akan pergi ke dapur dan membuatkan ibu secangkir kopi pahit, sebagai penetral racun – racun minuman keras itu, sekilas aku melirik jam di dinding, sudah jam 7 pagi, aku harus segera berangkat ke sekolah, aku mengganti baju rumahku dengan seragam SMP yang sudah terlipat rapi di atas meja ruang tamu. Aku takut sekali pak badrun akan lekas menutup gerbang sekolah, walaupun kita hanya terlambat 5 menit. Sebelum berangkat aku mengintip makanan di balik tudung saji, aku pastikan semuanya sudah terhidang di atas meja makan, tadi sesudah bangun pagi, aku langsung memasak sarapan untuk ibu, aku hanya ingin ibu tetap merasa nyaman ketika bangun nanti.
Ketika semuanya kurasa sudah beres, aku mengambil tas selempang yang kusangkutkan di paku belakang pintu kamarku, memakai sepatu kets yang kulitnya mulai banyak yang mengelupas, keluar pintu dengan menyangkutkan kuncinya di pintu.

Setiap hari aku sekolah dengan berjalan kaki, kebetulan sekolahku tidak terlalu jauh dari rumah, mungkin memang ibu sengaja memilihkannya begitu, supaya mudah dijangkau dari rumah. Yah, sekalian mengirit ongkos. Setiap harinya, aku sarapan di rumah, makan siang dari makanan pagi yang aku sisihkan sebagian, aku pikir lebih baik bawa makanan dari pada harus membeli lagi di sekolah, buatku, lebih baik uang jajanku ditabung saja. Tapi, aku kembali ingat, ketika ibu menemukan uang itu di laci meja belajar kamarku. Ibu marah besar, dia kembali memukuli aku, “ Eh, sudah pintar kau sekarang, dari mana kau dapatkan uang sebanyak itu ? “ mulutnya terus berteriak, dan tangannya terus memukuliku, sakit sekali rasanya, karena biasanya dia hanya memukul dengan tangan kosongnya, tapi sekarang dia memukulku dengan menggunakan kemoceng, perih rasanya.
“ Ampun ibu, aku tidak mengambil uang siapapun, uang itu adalah hasil tabunganku, aku sisihkan setiap sisa uang jajanku… sungguh ibu, aku tidak berbohong..” aku teriak membela diri, sambil terus merasakan perih yang masuk sampai ke dalam sumsung tulang saya.
Mendengar kata – kataku, ibu berhenti memukul, dia membalikkan badanku ke hadapannya, matanya jalang meliati mataku yang sayu, aku tidak mau balas menatap matanya tajam, tidak. Aku sangat menyanyangi ibu, hanya dia hartaku yang tertinggal. Aku memang masih muda usiaku baru 13 tahun, tapi aku mengerti, seperti apa rasanya ditinggalkan. Buatku ibu adalah pahlawan, walaupun aku tidak pernah tahu, dari mana ibu bawa pulang uang yang banyak itu. Uang yang disembunyikan di dalam sebuah tas besar mirip koper. Suatu pagi, aku intip dari celah lubang kunci kamar ibu. Aku kaget setengah mati, aku kucek – kucek mataku dan berharap kalau semua ini hanya mimpi, tapi kenyataannya, aku melihat ibu menyimpan tas itu berdama dengan tumpukan barang di atas lemari.
Ketika kaki ibu mulai menghampiri pintu, aku bergegas duduk lagi di depan meja makan, dan bersikap seolah – olah tidak pernah mengetahui hal apapun juga.
Sejak saat itu, aku tahu, ibu punya sebuah rahasia besar. dan aku saksinya, tapi aku diam, aku kunci mulutku, dan kunci itu aku buang jauh, entah ke mana, dan sialnya lagi, segala musibah berawal dari rahasia besar itu.

Kembali pada amarah ibu saat itu, aku mencoba tenang, ketika ibu akhirnya menangis dan memeluk aku. Mungkin ibu sadar, kalau selama ini, tidak pernah memberikan aku uang yang cukup, tapi dengan kesungguhan hatiku, aku berhasil menabung, dan uang tabunganku itulah yang akhirnya membuat dia mengamuk.
“ Maafkan ibu sayang, aku khilaf, maafkan ibu.” Katanya pelan, dan aku rasakan ada yang hangat dari bibirnya menyentuh anak – anak rambutku.
“ Tidak mengapa ibu, aku yang sembrono menaruh uang itu sembarangan ..” setelah itu, aku melepas pelukan ibu, dan berlari masuk ke dalam kamar.

Selama bertahun – tahun, aku hidup dengan ibu hanya berdua, tapi tetap saja tidak membuat aku dekat dengannya, entah kenapa ? ingin rasanya, aku duduk di pangkuannya, merasakan rambutku yang dibelai oleh ibu, tidur dipeluki ibu. Semua itu hanya bunga tidurku setiap malam. Kenyataannya, ibu selalu bahagia dan tertawa dengan seorang lelaki yang katanya teman dekat ibu, lelaki yang dibawa ibu ke rumah, untuk tinggal bersama dengan ibu dan aku.
Bayangin, dengan ibu saja aku tidak dekat, tapi dengan sombongnya, ibu memaksa aku untuk dekat dengan tamu lelaki itu, hatiku mulai gusar akan keberadaan “ tamu “ ini, berawal dari jabat tangan lelaki berbadan besar ini, telapak tangannya dingin, hawa dinginnya sama percis seperti telapak tangan lelaki – lelaki yang kerap menggodai ibu.
Lelaki itu namanya Bara, entah apa pekerjaannya, tapi kulihat, setiap saat hanya menguntili ibu saja, dan tidak pernah aku liat lelaki itu mengambil uang dari dalam dompetnya, selalu aku liat ibu mengambil uang dari dompetnya dan uang itu akan langsung pindah ke dompet bara. Sialan. Enak betul hidupnya. Aku merasa semakin di kesampingkan, walaupun semua kebutuhan dipenuhi ibu. Aku butuh kasih sayangnya, tapi ibu selalu melengos, setiap kali aku ingin menciumnya, dan kalau aku mulai memaksa ibu, yang aku dapatkan malah cacian makian dan pukulan ibu. Kalau sudah begitu, aku lebih baik diam dan menunduk. Kalau saja ibu tahu, bagaimana mata lelaki itu kerap curi – curi menelanjangi aku, dengan kerlingan mata yang membuat aku mual setiap saat, melihat mukanya seperti melihat lintah yang menghisapi darahku. Ibu tidak pernah tahu.

Tingkah lelaki itu semakin merajarela, aku melihat sendiri bagaimana tangan lelaki itu mulai berani menyentuh wajah dan badan ibu, aku selalu merinding setiap kali melihat peristiwa itu, walaupun hanya dari balik pintu kamarku. Kamarku memang letakknya percis di depan ruang tamu, jadi dari lubang kunci aku bisa leluasa untuk melihat semuanya, aku bergidik melihat mata lelaki itu, tapi aku terlalu kecil untuk melakukan sesuatu. Aku hanya menangis dan tetap melihat mereka. Aku penasaran, apa yang membuat mereka bertengkar, dan akhirnya aku menangkap penyebabnya. Uang. Iya, masalahnya di uang. Lelaki itu selalu menyebut – nyebut masalah uang yang katanya sengaja disembunyikan oleh ibu. Dan dengan sisa – sisa kekuatan ibu, dia tetap mengunci mulutnya.
Aku jadi teringat ketika aku melihat ibu dengan tumpukan uangnya itu.
Aku yakin betul, pasti uang itu penyebabnya. Kurang ajar, itu uang ibuku, kenapa lelaki sialan itu seperti punya hak penuh atas uang itu ?
Pagi itu, aku melihat lelaki yang memukuli ibu pergi dari rumah, meninggalkan ibu yang babak belur dikursi. Aku bergegas keluar dari kamar, berlari mengambil air dan memberikan kesejukan pada bibirnya yang kering tapi berdarah.
“ Aku tau kenapa lelaki itu memukuli ibu ? “ aku memberanikan diri, aku lihat ibu menatap aku dengan tatapan yang tajamnya, “ Hei, aku tidak pernah minta kamu mencampuri urusanku..” dia teriak tepat sekali di depan telingaku.
“ Aku liat ibu menghitung uang itu..” kataku cepat dan masuk ke dalam kamar.

Tepat tengah malam, aku sendirian di balik sofa, terdiam merunduk sambil melihat ke kamar ibu yang terbuka, aku hanya duduk diam, dengan muka pucat seperti mayat. Aku masih kecil tapi tidak satupun peristiwa aku nikmati dengan sebuah kebahagiaan. Aku tidak berani melihat ke dalam, melihat bara yang tersimbah darah di lantai. Aku lari keluar mencari ibu, berteriak – teriak seperti orang gila, “ Ibu.. ibu..” aku cari ke semua ruangan di rumah ini, tapi ibu tetap tidak ada. Aku menangis, jantungku seperti mau copot, aku masih kecil, tapi kenapa aku sudah dihadapkan pada masalah yang kacau seperti ini.
Aku sungguh ketakutan, berlari keluar rumah, berpeluh keringat dingin dan bertemu ibu di halaman depan yang baru mau masuk ke dalam rumah. Melihat ibu, aku langsung berlari mencari pelukannya, aku menangis sesegukan di dalam dadanya, ibu juga terlihat sangat panik melihat keadaanku.
“ Kamu kenapa ? “ tanya ibu dengan nada kuatir, aku tidak bisa menjawab, pegangan lingkar tanganku pada lehernya semakin kuat. Tangan ibu juga kuat melepaskan peganganku itu, “ Aku takut ibu, lelaki itu berdarah di kamar..” kataku terbata. Mendengar penuturanku, ibu kaget, melepas aku dan berlari ke dalam kamar, dari dalam kamar, aku mendengar ibu berteriak kencang. Aku lantas menyusul ibu masuk.
“ Ada apa dengan dia ? “ kata ibu bertanya padaku.
Aku diam dan menggeleng.
Muka ibu merah dan meregang, aku lihat ibu memegang tas tempat uang yang banyak itu tersimpan. Ibu kembali bertanya padaku, “ Kenapa uang ini bisa ada di atas tempat tidurku ? “ aku diam dan hanya bisa menggeleng, keringat dingin bercucuran terasa seperti mandi.
Ibu seperti tidak mempercayaiku, dia mulai menarik aku dan bertanya macam – macam, aku tetap bertahan dengan ketidak tahuan aku tentang kejadian ini. Tapi ibu tetap tidak percaya.
“ Kamu bilang waktu itu, kalau kamu tahu tentang uang itu, iya kan ? “ ibu menginterogasi aku.
Aku seperti sedang berada di sebuah ruang dengan lampu temaram, sebuah meja dan dua buah kursi yang saling bersebrangan. Ibu duduk di sisi kiri dan aku duduk di sisi kanan.
“ Ceritakan kepadaku, apa yang kamu ketahui ? “ ibu menatapku dengan tatapan jalangnya.
Aku menunduk dan terdiam.
“ Di rumah, hanya tinggal kalian berdua, jadi kamu pasti tahu, apa yang sudah terjadi..” mata ibu menelanjangi aku dan pikiranku juga ingatan – ingatanku.
Aku semakin keringatan, untuk ukuran anak seumurku, aku rasa ini beban yang teramat besar. aku tidak kuat menanggungnya sendirian. Melihat ibu, aku menggeleng – gelelengkan kepalaku. Kasihan. Ibuku sakit. Jiwanya sakit.
Aku liat, ibu mulai mendekati aku dan merengkuh bahuku.
Pelan – pelan kepalaku terangkat, aku melihat ibu yang sekarang duduk di lantai, “ Kenapa ibu tidak jujur mengatakan, kalau ibu yang sudah membunuh om bara..” kataku pelan dengan bibir yang membiru ketakutan.
Ibu sontak mengangkat kepalanya, kaget mendengar pengakuanku.
“ Apa maksud kamu ? “ aku tahu dia pura – pura marah, itu dia lakukan karena dia sudah amat ketakutan.
“ Ibu sudah tahu semuanya, untuk apa bertanya lagi ? “ aku liat Ibu, kalap berlarian mencari kemoceng dan mengambil paksa badan kecilku ini, aku tidak takut lagi, bahkan kalau memang hari ini aku harus mati, aku tidak peduli, toh selama ini juga tidak ada yang memperdulikan aku. Aku tantang mata ibu, yang melihat aku sambil menenteng kemoceng di tangan kanannya.
Tanpa di komando lagi, aku lantas menungging di depan mama, menunggu kemoceng itu menghajar seluruh badanku, dimulai dari pantatku. Aku menunggu rasa sakit yang luar biasa yang akan aku rasakan sebentar lagi.
Tapi, sudah lama aku nungging, aku tidak merasakan apa – apa, dan ketika badanku kukembalikan ke posisi semula, aku melihat ibu menangis di lantai.
Aku ikut – ikutan melantai, merebut kemoceng dari tangannya dan berteriak di depan muka ibu, “ Kenapa diam ibu, kenapa berhenti memukuli aku ? aku kangen rasa sakitnya ibu, aku sudah terbiasa.. “ aku teriak sambil menangis, dan memukuli diriku sendiri dengan kemoceng di tanganku. Melihat itu, ibu teriak menghentikan perbuatanku, mengambil kemoceng dan membuangnya ke lantai.
“ Apa yang kamu ketahui sayang? “ ibu bertanya padaku dengan nada suaranya yang menyelidik, sinar matanya sudah berubah. Dia bukan ibuku.
“ Semuanya ibu.. “ jawabku getir.
Aku tidak bisa berbuat apa – apa, ketika ibu mulai tertawa dan menangis bergantian, mengambil tasnya dan pergi lari dari rumah. Malam itu dia memutuskan pergi, dan sekarang dia pergi lagi, meninggalkan aku menangis sendirian, hati dan jiwaku meregang, aku bahkan tidak mampu memanggil namanya lagi.

Pagi – pagi, ada banyak polisi. Mereka menangkap aku. Ibuku entah sekarang dimana.

Aku benar – benar ada di sebuang ruang dengan satu meja dan dua kursi.
Aku pun mulai bercerita, kepada lelaki dengan seragam yang sama seperti seragam yang dulu sering dipake ayah, seragam yang akhirnya penuh dengan darah, ketika ayah pulang bertugas. Sekarang, aku lihat lagi seragam yang sama, di tengah ketakutanku aku seperti melihat ayah, “ Ayah…” aku panggil om di depanku.
Dia tersenyum dan memeluk aku.
“ Bagaimana ceritanya sayang, ceritakan pada ayah.. “ begitu katanya, dengan suara yang sangat aku rindukan. Aku kenal betul berat suara ayah.
Akupun mulai bercerita,
Ketika lelaki itu pergi sesaat setelah mereka bertengkar, percis beberapa jam kemudian, aku mendengar mereka kembali bertengkar lagi, aku langsung pasang kuda – kuda mengintip seperti biasanya, tapi kali ini sungguh luar biasa, karena aku tidak mengintip lewat lubang kunci lagi, melainkan aku keluar kamar, dan bersembunyi di balik sofa di depan kamar mama, dari sana, aku bisa melihat dan mendengar semuanya.
Ibu dan bara bertengkar berebut uang dalam tas itu, benar sekali dugaanku, pasti uang itu jadi sebab utama, sesekali mereka berdua saling melempar kata – kata kotor, aku sebal sekali mendengarnya, tapi lebih tepat ketakutan melihat adegan mereka berdua. Apalagi ketika mereka mulai tarik menarik tas itu. Tiba – tiba saja, ada perasaan yang tidak enak melewatiku. Aku rasa akan terjadi sesuatu malam ini. Perasaanku itu semakin kacau, ketika aku melihat lelaki itu memegang gunting ditangannya. Aku merinding. Aku ingin sekali keluar dari persembunyianku, tapi aku takut sekali. Aku menangis melihat tangan lelaki itu melingkar di leher ibu, dan gunting itu ada di depan mata ibu. Adegan di depan mataku, sama persis seperti adegan yang ada di film – film. Aku semakin ketakutan, bibirku kelu, aku tidak mampu berteriak, bahkan otakku juga jadi beku, aku tidak bisa berfikir apapun juga, apalagi ketika melihat mereka berdua sekarang, bergulat mencoba untuk saling melumpuhkan, mereka saling menarik, saling mendorong, saling bergulat. Aku tidak berani melihat adegan itu, nafasku naik turun tidak beraturan, aku bahkan menutup kedua telingaku dengan kedua tanganku. Sampai akhirnya, aku mendengar suara lengkingan orang berteriak kesakitan. Aku buka tanganku, dan aku liat, lelaki itu sudah bersimbah darah dan ibu berdiri kaku di sana, dengan gunting penuh darah di tangannya.
Mataku melotot.
Aku liat ibu menjatuhkan gunting, mengambil tas dan pergi melewati pintu rumah. Pergi entah kemana.

Aku masih duduk gemetaran di balik sofa, tidak beberapa lama kemudian, ibuku datang, pura – pura tidak tahu, dari situ aku tahu, ibu sakit. Jiwa ibu sakit. Terlalu banyak beban yang ibu derita.
Ayah, aku melihat sendiri, ibu menusuk perut bara dengan gunting. Setelah ibu datang, aku paksa dia untuk mengaku, tapi ibu malah pergi, tidak tahu kemana. Meninggalkan aku sendirian dengan lelaki yang berdarah di dalam kamar ibu.

“ Maafkan ibu ya ayah.. aku rasa dia gila.. “ kataku teriak kencang dan mulai tertawa dan menangis seperti ibu tadi.






The end.

2 komentar:

  1. singgah... :) ijin follow ya... have a nice day...

    BalasHapus
  2. mba..ceritanya bagus.
    salam kenal mba,boleh berguru kan mba biar bisa nulis sebagus itu?
    o'ya nama aku dwi.

    BalasHapus