NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Selasa, 18 Mei 2010

SEPOTONG JANJI DI WARNA ABU - ABU

Mata sudah mengantuk, guling sudah kulingkari, tapi mata tidak mau terpejam, badan seperti menolak meniduri kasur yang empuk ini. Aku terpelanting jatuh, dan kusadari aku sedang merokok di balkon depan kamar, asapnya aku butuhkan penyelaras gundah hati sejak semalam.
Semua ini karena mata yang tidak janjian melihat pada seragam putih abu – abu yang masih tersimpan rapi di dalam almari, aku hanya melihat sebentar, lalu membiarkan lagi tergantung. Mulai sejak malam itu, pikiranku tidak pernah selesai kembali pada masa abu – abu itu. harusnya tersenyum mengenang masa itu, tapi kenapa kecut bibirku ? kecut itu dinetralisir oleh batang rokokku yang sudah kesekian.
Aku mengenang itu dan membiarkannya cair dalam ranah mimpiku.

***
Di taman belakang sekolah, ada bangku yang biasa diduduki bertiga, adalah aku pemilik celana abu – abu yang pertama, namaku Ary, sedangkan pemilik celana kedua namanya Ganjar. Lihat, perempuan cantik dengan rok abu – abunya duduk di tengah mereka. itu yang bernama Retno. Sebagai sahabat kami selalu bersama, ada janji dalam kelingking tiga kami yang mengait.
“ Tidak boleh ada cinta di antara kita …” kataku mengucap janji dan berakhir dengan gelak tawa. Kelingking kami bersaksi.
Kami seperti terikat, tidak ada waktu yang selesai tanpa bersama. tapi, kenapa dada ini selalu gemetar, setiap kali melihat Retno dari kejauhan dengan sibakan rambut dan wajah penuh pesona, ketika aromanya menempeli setiap hariku dan membawanya kerap ke alam mimpi. Semua rasa itu tersimpan rapi di hatiku, tenang saja, letaknya sangat jauh di dalam sana, jadi aku tidak perlu takut, kalau – kalau mereka berdua mencuri tahu rasaku. Getir namanya, setiap kali Ganjar, memeluki Retno dan membimbingnya mencari bahagia, di pandangku, hanya aku yang boleh menyentuhnya.
Aku usir gangguan di otak.
“ Ini tidak boleh terjadi..!! “ bibirku mengeluarkan kata, tapi mata menatap lekat sang pujaan.
Debaran semakin kencang, sekencang langkah Retno menghampiriku, apalagi melihat wajah cantik dengan pesona menggumpal di sana, membuat aku ingin menekan mulutku di dalam mulutnya. Khayalku hilang, berganti wajah asli yang tersenyum di hadapku, wajah penuh keringat. Retno melempar senyum lalu rebah di sampingku, meminjam lengan menyandarkan kepala yang terasa berat. Jantungku langsung berdetak kencang, penuh perjuangan aku melingkari tanganku di bahunya. Sesekali lirikan matanya menganggu, apalagi ketika tangannya yang lain bertumpu pada tanganku. Dan bola mata sayu itu akhirnya bicara banyak tentang harapan. Tentang cinta. Hebatnya lagi, bola mataku terseret mengajak Retno bercerita. Suatu sore di pantai dengan tangan yang masih teremas, dan bibirnya sudah kurenggut. Ganjar tidak pernah tahu. Tidak boleh tahu.

Janji itu sudah pecah.
Pecahannya mengenai tanganku, baru saja aku mau mengangkat jariku yang berdarah, tapi ada tangan halus lembut yang duluan memegang jariku. Itu tangannya Retno, awalnya aku ragu, ingin rasanya menyibak tangan halus itu, kenapa jadi asing begini perasaanku, bukannya terlalu sering, tangan kita bertiga menyatu, kenapa saat ini rasanya beda ?
Janjinya toh sudah pecah.
Aku menangkap tangan Retno yang mulai menjauh karena sempat kutepis, sekarang, tangan Retno juga ikut berdarah, darah dari janji yang sama. Karena itu memang janji kita yang sudah pecah. Tidak bersisa.
Tanpa sungkan, tangan Retno mengambil jariku yang sobek, lalu membiarkan jari itu hangat di mulutnya. Hangatnya masuk juga sampai ke hatiku.
Sekali lagi aku katakan, “ Maafkan aku Ganjar, tapi lekatnya tidak bisa aku hindari.”

***
Setiap kali bertiga duduk di atas bangku di taman belakang sekolah, Retno selalu memilih untuk duduk di tengah. Aku di samping kiri dan Ganjar di sebelah kanan. Bercanda bersamanya masih sama, tidak ada yang berubah. Kita masih terus bercerita, dengan tawa yang tidak pernah berubah.
Hanya tangan – tangan nakalku ini saja yang terus mencari tangan Retno, hanya untuk sedikit meremas, ungkapan yang artinya, “ Aku kangen..” dan kalau sudah demikian, tangannya balik meremas tanganku, dan bola mata sayunya mencari arti yang lebih. Ganjar seorang pencerita yang baik, selalu bisa membuat Retno tertawa, renyah sekali, bahkan sesekali Ganjar mengacak – ngacak rambut Retno dengan tangannya dan lirih terdengar suara Retno menyambutnya, kalau sudah begitu, tangan kami yang terikat di belakang punggung, akan terlepas, dan berganti dengan tangan Ganjar yang memeluki Retno.
Mendidih memang.
Tapi, kaku tidak bisa berbuat apa – apa. Aku terdiam, manakala melihat serpihan janji berdiri di depan kita, tidak tampak oleh mereka, tapi jelas terlihat olehku. Janji yang tawanya lebih renyah, sambil mengeluarkan lidahnya yang panjang, menjejeri aku dengan ledekannya.
“ Tidak pantas marah, karena kamu yang pecahkan aku..” janji, melotot melihat tanganku yang mengepal mengarah padanya.
Kalau sudah begitu. Aku hanya bisa diam, melihat Ganjar tetap bercerita dengan tatapan mesranya pada Retno.. Kekasihku.

***

Aku duduk gelisah di bangku taman belakang halaman sekolah, hubungan terlarang ini, mulai tercium busuknya. Walaupun sudah selesai. Ending yang tidak menarik, aku mundur. Pesona cinta tidak selaras dengan irama hati berdua, tapi talinya sudah lepas, entah mengapa, aku puas. Bahagianya hanya sebentar.
Aku bangkit dari duduk, mencari Ganjar membayar utang sebuah cerita. Sebuah pengakuan. Belum sempat kaki melangkah, Ganjar datang.
Jalang merah bola matanya, dengan serpihan yang tergenggam dan berdarah. Ganjar sudah tahu sebelum aku mulai berkata. Dia angkat janji itu tinggi – tinggi di tangannya dan berteriak menatap aku yang sontak berdiri mendengar keras suaranya, “ Bukan aku yang mengingkari janji ini.. bukan aku yang akhirnya mendapati janji yang tinggal serpihan, bukan aku yang bicara banyak tapi jadi terdiam karena janji tinggal kenangan.. bukan aku..” belum selesai mulutnya teriak, aku tahan dengan suaraku yang sama gelegarnya, “ Cukup … !! “ aku maju. Bahkan sekarang mukanya begitu dekat dengan mukaku.
“ Memang aku yang mengingkari janji ini, pecah dan tinggal serpihan, jariku juga berdarah jar.. jari Retno juga.. aku tidak diam, aku mau bicara..dengarkan aku..” aku mengambil serpihan janji di tangan Ganjar, dan membuangnya jauh. Tangan Ganjar menurut, tapi hatinya siapa yang pernah tahu. Aku duduk bersisian dengannya tanpa melihat mata satu sama lain.
“ Kenapa ry ? “ tanya Ganjar pelan, masih melihat lurus ke depan.
“ Karena cinta luar biasa mengikatku..” pelan suaraku, dengan pandangan yang sama.
“ Kenapa harus Retno ? “ kembali lagi dia bertanya, tanpa menatapku.
“ Hidupku hanya dikelilingi tiga orang, kamu, dan Retno.. aku tidak sanggup menahan gelora pesona yang mengikatku, aku tahu ini kesalahan fatal, tapi aku tidak bisa menolak kehadiran cinta. Datangnya tiba – tiba.. “ aku bercerita dan menahan nafasnya.
Mata Ganjar masih nanar. Dia menoleh, aku melihat kejang itu masih ada.

“ Cinta sudah selesai, sudah diputuskan demikian. “ ada suara di belakang, berdua menoleh.
Retno berdiri, jari – jarinya berdarah, serpihan janji di tangannya. Dia berjalan lunglai, lalu menyeruak masuk duduk di tengah. Aku menggeser duduk, takut kulit bersentuhan. Dalam diam, kami duduk bertiga. Kami dulu bersahabat, sampai cinta datang mengacau. Ganjar masih diam, walaupun tangan Retno erat memegang tangannya. Aku merasa asing, dan lalu pergi diam - diam, tanpa mereka harus tahu.
Menatap punggung yang berseragam itu, membuat pilu lubuk hati. Ganjar masih terpaku, sementara kepala Retno tunduk rebah di bahunya. Percis sama seperti kisahku dulu. Aneh, aku tidak cemburu.
Namanya berganti jadi cemas. Aku tidak mau, Retno menyisakan luka yang sama seperti lukaku, masih menganga sampai sekarang. Pandanganku terbuang, ketika bibir Retno mulai melenguh. Kenapa aku jadi ingin lekas – lekas mendengar bel masuk berdering.

***
Bangku di taman halaman belakang sekolah basah disiram air hujan yang menderas semejak pagi. Bangkunya sudah tidak sekuat dulu, salah satu kakinya patah. Perpisahan sekolah, tidak lantas membuat kami bertiga ikut lepas.
Hubunganku dengan Ganjar semakin membaik, tapi tidak dengan Retno, kami sudah jarang sekali bercerita bersama. Retno semakin berkuasa atas cintanya ke Ganjar, seperti sapi ompong, Ganjar hanya menurut saja. Bahkan orang tua Ganjar yang sudah seperti orang tua buatku, memohon dengan air matanya, “ Kami tidak pernah merestui mereka… sampai kapanpun.” aku sudah menduga.
Benar adanya keputusanku dulu. Lebih nyaman terus bersahabat
Retno berkuasa penuh atas Ganjar, dan mataku tidak nyaman dibuatnya. Ganjar seperti kehilangan darah, mukanya pucat, rantai panjang dan besar mengelilingi tubuh Ganjar, senjata Retno ada di bola mata sayunya, tidak membuat tentram lagi seperti dulu, tapi membuat kosong isi kantong Ganjar. Sekali lagi, dia tidak bisa berbuat apa – apa.

“ Perempuan itu bukan Retno kita yang dulu, atau.. memang seperti itu wajah aslinya ? “ aku membuka suara, Ganjar berdiri di depanku dengan rokok filter di tangannya.
“ Aku mau lepas, tapi tidak bisa. Diikat terlalu kuat. Tolong aku..!! “ Ganjar memintaku dan menyorong kotak rokok sepaket dengan apinya. Aku mengangguk.


***
Sudah lama sekali aku tidak melihat senyum Ganjar lepas seperti senyumnya sore ini, senyum itu tertular padaku sore ini.
“ Terima kasih..” Ganjar mengangkat tangan kanannya dan melakukan toast denganku, aku tertawa terbahak – bahak. Tawa yang sama seperti waktu memakai celana abu – abu dulu. Tanpa Retno.
“ Dimana dia sekarang ? “ aku bertanya di sela tawa.
Aku lihat bahu Ganjar terangkat. Dulu, kami berdua selalu berebut untuk ada di dekatnya, mau tahu semua urusannya.
Ganjar duduk dan merokok, “ Bagaimana aku harus berterima kasih ? “.
Aku merebut rokok dari mulutnya, menghisap dengan tarikan nafas yang panjang, dan menghembuskan asapnya tepat di muka Ganjar.
Ganjar tidak perlu berterima kasih, celana abu – abu kita jadi saksi sebuah persahabatan, dengan sepotong janji yang terampas berdarah di abu – abu kami.
Tangan Ganjar melingkari bahuku, kita merokok bergantian, dengan batang rokok yang sama.

“ Sayang..” ada suara memanggil nama Ganjar tepat di belakang punggungku. Bulat mata Ganjar menyambut dengan tangan yang terbuka setipis senyum manis seorang dara dalam balutan kaus casual, berdiri di pojok. Perempuan itu berlari kecil lalu terkunci dalam pelukan hangat Ganjar. Diam – diam aku cemburu.
“ Kamu berutang banyak padaku.. “ kataku pada Ganjar, dan melirik mila.
Mila mengambil sesuatu dari dalam tasnya, menyerahkan sesuatu ke tanganku, tidak bergeming aku membacanya, teringat lagi janji abu – abu dulu. Sekarang kita sudah dewasa, sudah tidak abu – abu lagi. Ganjar memelukku erat, and lalu pergi.
Aku masih duduk di sini, di bangku taman halaman belakang sekolahku dulu, aku dan Ganjar memang sengaja datang ke sini, untuk merapikan serpihan janji yang pecah, dari tadi siang, kami berdua sudah lelah mengubur janji tepat di bawah bangku taman itu.
Aku masih berdiri memegang undangan Ganjar dan mila di tangan, seperti teringat sesuatu, aku bergegas mengambil sesuatu juga dari dalam tasku.
Kartu undangan pernikahan Retno dan calon suaminya.

Masih jelas teringat, pertemuanku dengan Retno.
“ Ini undangan untuk kamu dan Ganjar..” katanya singkat. Aku menerimanya setengah hati, tapi demi menjaga janji kita dulu.
“ Aku masih belum bisa melepas Ganjar..” tiba – tiba dia teriak, ketika langkahku sudah mau menjauh dari situ. Aku terdiam, dan kembali berjalan ke depannya.
“ Kenapa tidak bisa melihat Ganjar bahagia? “ aku tatap matanya tajam, mata yang dulu sempat membuat aku semaput dilanda asmara, bola mata sayu itu.
“ Bahagia..? “ mulut tipisnya membentuk tanya.
“ Kamu menghubungi dia setiap hari, membuat kosong dompetnya, meminta hak atas perhatian dia, itu tidak membuat dia bahagia, Retno..!! “ aku berteriak.
“ Aku masih mencintainya..” mata itu balik tajam menusuk. Aku pergi meninggalkan mata yang dulu begitu kuat mengikatku. Tidak kuhiraukan suara Retno memanggiliku. Ada yang merah legam di dadaku. Luka karena akibat janji tiga hati. Cintalah yang harus bertanggung jawab. Aku tinggalkan Retno duduk menangis.

Di luar pagar, sejurus mata menyebar pada dinding sekolah yang mulai tua dan terkelupas, pintu mobil sudah terbuka, tapi aku masih enggan masuk ke dalam, ingatanku akan celana abu – abuku, dan juga sepotong janji menempel di warnaku itu. pada pandangan mataku yang mulai mengabur, aku seperti melihat Ganjar dan Retno dalam balutan seragam yang sama seperti kepunyaanku, mereka masing – masing berlarian berkerjaran sambil membawa janji di pelukan. Mereka menatapku ceria, dan mengulurkan tangannya, aku mengambilnya, dan tertawa bertiga, sepotong janji itu masih ada di pelukan kita bertiga, janji yang terus diciumi sampai kita puas, dan terbaring lemah di halaman sekolah penuh rumput.
Lamat – lamat pandanganku menjadi kian jelas, tersadar aku, ada di tengah – tengah halaman sekolah. Tapi sendirian, tidak memeluk janji, tidak berseragam celana abu – abu lagi. Tidak bersama Retno dan Ganjar. Aku masih berdiri di sini, memegang dua undangan sekaligus.


***
Pesta kawin seorang temanku sungguh meriah. Tidak menyangka, tahun demi tahun berlalu semakin cepat dan memburu.
Aku datang bersama Ganjar, duduk berdua di sebuah bangku, sama percis seperti waktu duduk bersama di bangku tua halaman sekolah dulu. Sahabatku dalam warna abu – abu dulu, tawanya masih sama, walaupun buah hati sudah ada dua.
Tawa kita nyaris berhenti, ketika Retno tanpa permisi, menyeruak masuk duduk di tengah kami. Gelas dalam pegangan untung tidak terlepas dan terjatuh. Sontak suasana jadi berubah. Aku mencoba untuk mengurangi tegang dengan candaku.
“ Hai Retno, berapa anakmu sekarang ? “ kataku mengarang senyum di wajah.
Tapi Retno bukan menjawab tanyaku, bola matanya asik menggerayangi Ganjar dengan tatapnya. Aku tahu Ganjar gelisah, keliatan dengan bahasa tubuhnya.
“ Ari, kapan kamu nyusul ? “ Retno bertanya basi – basi, terlihat dari mata yang sekarang balik mengunciku. Amboi.. Mata perempuan ini terus terlihat cantik walaupun sudah berkeluarga, Retno menatap bola mataku erat, seperti mau melempaskan dari sarangnya.
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum dan melangkah pergi mengambil segelas air mineral, meminumnya habis dalam satu gerakan. Sialnya lagi, perempuan itu dan pandangnya masih setia mengikuti aku. Ganjar mengikuti langkahku terus, dan sembunyi di balik punggungku, melihat Retno seperti setan perempuan di dalam pesta.

Retno terus mengejar, sampai ke halaman belakang gedung. Sampai di sini, aku mati kutu. Ganjar apalagi. Retno jalan pelan mendekati. Degup jantungku seperti mau lepas. Langkahnya seperti irama yang tidak beraturan, merusak gendang telinga. Seketika dia berhenti, ada air menetes dari bola matanya yang masih tetap sayu, perlahan dalam irama seperti slowmotion di adegan – adegan film, Retno mengeluarkan sesuatu dari balik tas besarnya itu.
Mataku dan Ganjar terbelalak, melihat Retno mengendong janji yang sudah rekat tidak terpecah lagi, aku seperti merasakan kenangan itu datang lagi, bertiga dalam balutan seragam abu – abu, memegang janji sambil tersenyum.
“ Ini janji kita, masih ingat ? “ tanyanya dengan mata merah suara yang parau. Aku dan Ganjar mengangguk. Ada air setitik di ujung mataku, langsung aku hapus. Ganjar keluar dari punggungku.
Ganjar menarik aku dan Retno tenggelam dalam pelukan yang sama, seperti waktu masih berseragam dulu, janji tersenyum bahagia walau kesempitan di tengah, berebutan kita menciuminya, berebutan kita saling mengacak rambut.

“ Jadi, kapan kamu nyusul,? “ sekarang Ganjar mengulangi pertanyaan yang sama, dan masih sama juga jawabanku, hanya tersenyum. Melangkah pergi mengambil segelas air mineral, meminumnya habis dalam satu gerakan. Sialnya lagi, Ganjar dan Retno pandangnya masih setia mengikuti aku, menanti jawabku. Aku panik mau sembunyi di balik punggung siapa.
Retno seperti setan perempuan di dalam pesta, dan Ganjar setan lelakinya.

***
Aku terbangun dari tidur panjangku, mendengar rusuh ketukan pintu kamarku, terhuyung membuka pintu kamar, Ganjar tanpa permisi menerobos masuk dan melemparkan sebuah kartu ke atas tempat tidur.
“ Apa itu ? “ tanyaku dengan mata sipit mengantuk.
“ Undangan reuni SMU..” ganjar teriak – teriak lompat di atas kasurku.



The end
( untuk seorang teman dengan kisah janjinya semasa sma dulu )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar