NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Selasa, 04 Mei 2010

PENGAKUAN DOSA

Minggu pagi, suasana gereja paroki di bilangan Jakarta Barat, tampak penuh sesak dengan umat, tidak seperti biasanya memang, apalagi Misa pertama, di jam enam pagi, tepatnya. Terdengar kabar ada misa penyembuhan dari seorang Romo. Romo itu, sahabatku.


Namaku Ana, kependekan dari Anastasia.

Mengenai acara tersebut, juga sudah sampai ke telingaku, maka, pagi ini aku niatkan untuk ikut hadir di sana, walaupun berat rasanya langkah ini tergerak, kedua kaki seperti enggan bergerak, diikuti oleh badan, tanganku. Apalagi mata merah, belum tidur semalaman.

Tadi pagi di kamar, sebelum akhirnya aku berangkat juga. Gemetaran aku membuat tanda salib. Aku takut. Tuhan pasti marah padaku, mengenai peristiwa semalam, sebuah kejadian, yang akan aku bawa seumur hidupku, tidak akan pernah aku lupakan. Gambaran kejadian demi kejadian, terlukis jelas, seperti lukisan yang dipajang dalam pameran, bagaimana mungkin Tuhan masih mau menerimaku ?
Masih berdiri di depan cermin setengah retak, karena aku lempari tadi malam, aku mengambil sisir dan mulai menyisiri rambut panjangku, setelah sudah rapi, aku membuka laci dan mengambil gunting dulu warnanya hitam, sekarang jadi agak kemerahan, tanpa harus ditata lagi dengan rapi, aku menggutingnya dengan cepat, tertawa melihat rambut – rambut itu terlepas dari kawanannya, dan sekarang mengotori lantai kamarku. Rambut panjang terurai itu ( yang selalu jadi kebanggaanku sebagai symbol mahkota perempuan ) sekarang sudah berubah jadi pendek seadanya, tanpa model sama sekali. Aku tidak peduli. Yang jelas dengan memotong habis rambut ini, seperti ada beban berat yang terlepas, lalu membebaskan rasaku.
“ Hanya sebentar, luka batinnya akan terus sampai tua..” teriak cermin sambil menjulurkan lidahnya kepadaku, dan tertawa keras, membuat aku semakin marah, dan kembali melemparkan sepatuku ke mukanya.
Cermin itu, sekarang sudah benar – benar hancur. Sekarang giliran aku yang tertawa dan menjulurkan lidahku.
Dengan rambut baruku, aku membuka lemari baju, dan mengambil sebuah kemeja warna putih dan celana jeans biru tua, dari dalam sana, melepas baju yang lama, dan mengganti dengan baju yang baru. Tanpa cermin, aku tidak bisa mematut diriku lagi, masa bodoh, aku tidak perduli, aku tahu, semuanya akan sempurna. Khususnya pagi ini.
“ Percuma, tidak akan ada satu yang memberimu maaf.. “ kembali baju – baju di dalam gantungan itu, bergelak dan menertawai aku, getaran dalam dada ini, seakan lupa niatan semula, aku mengambil semua baju di dalamnya dan melemparinya ke lantai, sekarang, lantai kamarku bukan saja di kotori oleh rambutku, juga oleh pakaian – pakaianku.
“ Sok tau.. !! “ kataku sambil mencibiri mereka.
Sebelum berangkat aku harus tetap cantik, walaupun ada noda hitam di seputar lingkar mataku, hitamnya harus ditutupi oleh alas bedak, lalu bedak, sedikit polesan pada atas mata, bola – bola merah pada pipi, lipstick warna merah tua, menambah aroma seksi pada mulutku, terakhir aku menyemprotkan parfum kesayanganku, dari orang yang tersayang juga. Sayang, orangnya sudah pergi entah kemana ( berawal dari kisah tadi malam ), wangi harum tubuhku, menambah semerbak keindahan pagi, dengan rencana – rencana indah di dalamnya.
“ Kamu, cantik..” ada suara perlahan, tapi membuat hati sejuk dan damai, aku mencari sumber suara itu, tapi aku tidak menemukannya, aku berlarian di dalam kamar kecil ini, teramat kecil, untuk aku tidak bisa menemukan asal suaranya. Putus asa, aku ambil tas tanganku, meraih semua peralatanku untuk masuk ke dalamnya.

Sebelum pergi ( dan selamanya tiada kembali ) Aku kembali menyebar pandangan ke seluruh ruangan, detailnya masih terasa dalam hati, setiap sudut selalu punya arti besar, masih terasa, suata tawamu ketika saat bahagia kita masih saling memeluk. Sebenarnya aku tidak mau menangis, tapi langkah yang akan semakin menjauh ini, membuat hatiku perih, biar bagaimanapun, sepuluh tahun hidup di sini, dengan suka dukanya, terlalu lama mengendap jadi sejarah, khususnya untuk kami, berdua.
“ Selamat tinggal kenangan.. aku pergi, kembali ke rumah Bapa.. “ suaraku terdengar parau keluar dari mulutku, menarik nafas pelan, masih sesegukan dalam tangis, aku menutup pintunya, dan yakin, tidak akan pernah aku buka kembali. Selamanya.


“ Saya pergi bu, ini kuncinya.. “ kataku pagi ini kepada ibu pemilik kontrakan, di halaman depan rumahnya, ibu bingung menatap merah mata bengkakku.
“ Mau kemana ? katanya sambil merengkuh aku dalam bahunya.
Isak tangis semakin besar terdengar, dari balik bahu perempuan setengah tua itu, perempuan yang selama ini, sudah aku anggap seperti sosok ibuku sendiri, perempuan yang selalu sabar menghadapi keluargaku, khususnya, di saat aku harus bersembunyi di belakang lemari, ketika ibu mulai mengetuki pintu kamarku. Dan lalu ketika tidak ada respon sama sekali dari dalam, ibu itu lantas pergi dan tidak datang lagi, sampai aku menghampirinya, dan dengan kepala menunduk memberikan amplop ke tangan ibu, dengan hanya satu ucapan saja, “ Maafkan saya .. “ setelah itu, ibu baik hati itu, tidak akan memaki, malah mengambil tubuhku dan memberikan pelukan hangat.
Ibu itu seperti Tuhan, yang berwujud dalam tubuh manusia.
“ Kalau Radit pulang, saya harus bilang apa ? “ tanyanya lagi, sekarang tanganku yang digenggamnya.
Aku menggerakkan bahunya pelan ke atas, “ Katakan saja, saya sudah pergi, dan tidak akan kembali lagi.. selamanya.” Itu kataku terakhir, lalu kami berpelukan, dan aku pergi, tanpa menoleh lagi ke belakang.
“ Kamu mau kemana ? “ tanyanya lagi dengan mata kegusaran.
“ Gereja.. “ pendek kataku, tapi panjang jalanku.



Pagi ini, aku sudah ada di antara umat yang berjejalan di dalam ruang gereja ini, di sebelah kiriku ada sepasang suami isteri dengan anak perempuan yang sangat cantik, anak itu meraih pandanganku dan menangkapnya dengan senyuman, aku membalas tersenyum, tapi lantas membuang muka lagi, ada bulir – bulir hangat yang ingin lepas dari bola mataku.

Kembali teringat, sebuah kata yang menghujam ulu hati, kata yang merobek – robek citraku sebagai seorang wanita, “ Aku mau punya anak.. !! “ lelaki dengan mulut tidak hormatnya itu, teriak kencang di telingaku, teriakan yang tidak hanya terhenti di situ, tapi tambah dengan teriakan – teriakan lainnya juga, “ Dasar perempuan MANDUL..!! “. Tangan di sebelah badanku tiba – tiba jadi kaku dan keras, berisi amarah yang ingin terlepas. Suara – suara itu semakin menggila, dan membuat gendang telingaku jadi tuli. Aku lebih baik tuli.
Lelaki itu tidak tahu, bagaimana rasanya memiliki rahim yang tidak berisi, dia tidak pernah tahu, kalau kata – katanya itu, begitu menyinggung hatiku, menarik nafasku dan keluarnya satu satu, aku mau teriak, tapi mulutku seperti ada yang mengunci, hanya air mata yang keluarnya langsung deras. Lelaki yang menurut surat nikah adalah suamiku, berdiri tenang di depan jendela, menghembuskan asapnya dari rokok yang terjepit di tangan. Ingin rasanya, berlari ke arahnya, dan mengunci lehernya dengan tanganku, sampai badannya mengejang dan tidak bergerak lagi, melantai di tanah.
Tapi, sekali lagi, karena aku perempuan, aku tidak bisa berbuat apa – apa, hanya mulut setia memanggili nama Tuhan.
“ Tuhan, Engkau ada di mana sekarang ? mengapa diam saja, melihat aku sengsara tanpa daya ? “ kataku dalam hati sambil terus menangis.
Aku duduk di kursi menangis, sementara dia terus asyik berasap, sesekali matanya mengerling dengan senyuman sinisnya.
Aku balas kerlingan itu dengan lemparan senyumku yang paling dingin tercuri dari sudut mataku, ingin sekali meludahinya, dan memberi pelajaran berharga pada mulut yang bersahabat dengan bibir, yang warnanya menghitam karena candu nikotin. Duh Gusti, kalau ada yang terluka malam ini, itu salahku yang menerima kotoran atau dia yang memang kotor?

Aku butuh pertolongan. Lantas sembunyi - sembunyi mengetik sms dari bawah kolong meja, lalu mengirim sms kepada seseorang. Sahabatku.

CEPAT DATANG.. TOLONG AKU..!!!

menekan tombol kirim, dan menerima pesan bahwa isinya sudah diterima.
kemudian sahabat itu, membalas, mengiyakan pintaku. Menarik nafas lega, aku tinggal menunggu.

Dari sudut mataku, aku lihat ada langkah kakinya menghampiri kursi tempat aku duduk, kembali bergetaran dinding jiwa ini, ketakutan yang manusiawi sekali, apa yang akan kembali dilakukannya ? hawa kamar ini, langsung menjadi dingin serupa makam, perasaan tidak enak yang menghujan. Aku tidak siap menanti hal yang kotor berupa kata dalam kalimat yang menindihku. “ Kemana lelaki itu ? katanya akan datang memberiku tolong.. “ dalam batinku bicara.
Bau nafas itu membuat perutku mual, bau nafas yang mendatangi belakang telingaku, bibir yang menciumi tengkuk, desah yang suaranya parau, kata demi kata terucap menghunus telinga serasa pedang, “ Aku pergi mencari rahim yang beranak.. “ mengecup kulit rambutku dan menodai wanginya.
Sialan.. tangan ini semakin mengeras, dan basah.
Ini saatnya. Persetan dosa, amarah harus selesai malam ini. Tidak akan terbawa dalam cerita mimpi tidurku nanti malam.

Tiba – tiba ada ketukan pada pintu.

Aku berdiri dari yang duduk, bau itu masih di belakangku, memenceti bokong dan terus tertawa penuh sindiran, tarikan nafasku tambah tidak beraturan, aku ingat betul ini yang aku rasakan, ketika suatu hari bertemu dengan lawan main pada ujian karate ku, untuk mendapatkan sebuah piala saja ( bukan uang ), bedanya, kalau dengan yang itu, aku menatap matanya tajam dan jalang, sementara yang ini, aku mengendusi baunya yang jalang dengan bauku yang menyala.

Pintu semakin kencang diketuk. Aku berdiri berlari menuju pintu, seiring lampunya mati. Lama matinya….
Tiba – tiba ada yang tertawa dalam gelap. Lama tertawanya. Gantian, karena dari tadi, aku hanya diam.

Aku masih duduk di Gereja, pindah duduk ke bangku paling belakang, sepasang suami isteri dengan anak perempuan di sampingku itu, menatap keheranan. Berada di bangku yang baru, memberi kenyamanan. Aku khusuk berdoa, mendengarkan firman Tuhan, lalu berdiri dan tenggelam dalam antrian panjang penerima hosti. Aku ada di sana, berdiri dengan tangan yang dikatupkan di depan dada. Suasana menjadi dingin, seketika aku berubah ketakutan, ketika semua orang tiba – tiba mempehatikan aku. Semuanya. Mereka memandang dengan tatapan yang sinis, seakan – akan aku yang jalang. Padahal aku korban, coba kalian ada di posisiku. Persetan. Aku mau meminta tubuh dan darahNYA bukan, meminta perhatian kalian.
Karena permainan imajiku, aku tidak sadar kalau aku sudah sampai di depan romo, aku segera membuka katup tanganku, dan hangat menerima yang Kudus di tanganku.
“ Tubuh dan Darah Kristus.. “ katanya tegas. Aku menjawab dengan tegas juga, “ Amin..” dan kembali ke posisi semula. Mengunyah hosti di dalam mulut, tapi hosti tertempel di langit – langit, ada mitos yang berkata, kalau seperti itu, artinya banyak dosa yang menempel. Aku juga tidak pernah percaya, tapi pagi ini, mitos itu menempel. Hosti itu menempel.
Duduk, berlutut dan lalu berdoa, bulir – bulir hangatnya air mata, jatuh menetes.
Mengapa seperti ada yang luka ? mengapa sesak dada ini meminta pengakuan, kemana dendamku ? dia memperdayai aku, dan aku adalah pemenangnya. Tapi kenapa, aku seperti jadi pecundang ?
Apa karena, Roh Kudus sudah menyatu dalam aliran darahku, menepis marah jadi sebentuk sesal, sesal yang jatuh berjatuhan di lantai gereja, aku memungutinya, tidak peduli banyak mata yang memandangi curiga. Aku menangis dan berlutut jatuh sampai ke tanah. Aku membasahi lantai Gereja dengan air dari mataku. Mata yang tadinya berwarna merah karena amarah.

Aku tidak kuat lagi, sebelum misa selesai, aku lari keluar bangku, mengambil air suci, membentuk tanda salib, dan lari keluar pintu, terus lari sampai ke goa maria. Terjatuh di sana, melihat ke bunda yang terus tersenyum, aku menangis sambil memegang perutku.
“ Bunda, mengapa rahim ini Kau biarkan lama kosong ? hingga hidupku seperti perempuan tanpa kehormatan, dihujani kalimat pengosong jiwa, lalu nekat berbuat dosa.” Kata kataku meluncur masih duduk di lantai.
Hari itu, gereja belum usai, goa masih kosong.
“ AKU BERDOSA… !!! “ teriak histeris tertahan, sambil memukul – mukul lantai taman. Lalu, beranjak memukuli perut. Menangis seperti perempuan gila yang tanpa Tuhan ( padahal dia ada di Gereja ).
Seperti ada udara dingin menghampiriku, mengajakku berdiri dan mengatupkan tanganku, menggerakkan mata untuk melihat ke depan, menguatkan kakiku, dan membuka mulutku, untuk segera merangkai doa, supaya batin diliputi ketenangan, seperti anak kecil, aku tidak tahu itu kekutatan apa, tapi aku tidak kuasa untuk menolaknya, aku biarkan semuanya digerakkan sebuah zat itu, zat yang membuat hatiku dingin, dan suara – suara yang sama berbunyi mengikuti alunanku,.

“ Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertaMU, terpujilah Engkau di antara wanita, dan terpujilah buah TubuhMU Yesus... “ terdengar rangkaian doa yang lain melanjuti dari belakang badanku,

“ Santa Maria bunda Allah, doakanlah kami dari yang jahat, sekarang dan waktu kami mati.. amin “ dan lalu semua orang yang terlihat sudah ramai di sana, sama – sama berlutut dan menggerakkan tangan untuk membuat tanda Salib.

Ya Tuhan, gemuruh itu lambat laun selesai, seperti teringat sesuatu, aku berlari keluar dari taman ini, dan bergerak ke halaman belakang Gereja, mencari Romo, yang tadi memberiku hosti. Gegap gempita cahaya dalam ruang hatiku. Romo itu kaget melihati aku, lantas berjalan setengah berlari ke arahku, seperti tahu, kalau aku sedang menungguinya.
Sekarang, Romo sudah ada di depanku, menopang tangannya di kepalaku, memberikan bait – bait doa, doa yang dibalas dengan jatuhan air mata tanpa suara, hanya turun naik nafasku membuat aku ingin menjerit.
“ Saya mau pengakuan Romo.. “ kataku membuka mata tiba – tiba, tangan yang ditopang itu lantas turun juga bergegas. Romo seperti paham sesuatu, waktunya tidak banyak lagi, lantas membawaku ke ruang pengakuan, kami masuk. Roma memakai Stolanya.
“ Pengakuan saya yang terakhir setahun yang lalu.. “ kataku kemudian,
“ Dosa saya adalah… “ seketika, lidah tercekat tidak mau bicara. Dalam memandang Romo yang ada di depan mata, tangan gemetar, mengambil rosario dari dalam saku bajuku.
Ingatan melayang kepada tubuh yang sekarang masih ada di kamar dengan ikatan yang mengunci tangan, kaki dan mulutnya. Badan yang tergolek lemah di atas tempat tidur tamu yang dikunci dari luar.

Malam itu, setelah perkataan demi katanya itu, aku kalap. Aku keluarkan segala daya yang tertahan begitu lama, mendengar ketukan di pintu, aku segera berlari mengejar pintu yang segera dibuka, tapi tangannya yang kokoh, menghalangi langkahku, aku balikkan badanku, mengambil tangannya, dan membelokkan ke belakang punggungnya, begitu juga tanganku yang lainnya, seperti kesetanan, lelaki itu berontak. Tapi aku lebih dari kesetanan, dengan sisa kekuatan yang dirampas oleh air mata, aku paksa masuk gunting hitam dari atas meja ke dalam perutnya, ada lenguh kesakitan menyelesaikan episode tragis kisah perempuan yang rahimnya kosong. Aku tertawa yang lalu selesai di dalam gelap. Sengaja aku matikan lampunya.
Dan ketukan pintu berhenti. Tidak ada lelaki itu yang membantuku. Aku sendirian.
Aku tarik badan tanpa nyawa itu melantai, dan bicara di depan mulutnya yang hitam, karena kecanduan nikotin.
“ Wanita mandul ini memang PEMARAH, sayang.. “ teriakku geram, di depan telinganya, kembar seperti yang pernah dilakukannya.
Mematikan lampu, lalu keluar kamar.

Malam bergerak terlalu pelan, memanjangkan waktuku untuk tertawa, sambil ikutan berasap, tapi tidak mengerling dan tersenyum sinis. Karena orangnya, sudah tidak di depan mata lagi.
“ Ada di dalam, tidak bisa ketawa lagi, dan mulutnya tidak kotor lagi.. “ aku tertawa, dan dari mulutku terus menghisap dan mengeluarkan asap.
Jam sudah menunjuk pukul empat pagi. Dua jam lagi, gereja pagi dimulai.


Kembali di ruang pengakuan.
“ Saya tidak membunuhnya Romo, hanya memberi pelajaran pada mulut kotornya.. “

“ Terlambat, saya sudah datang dan mengetuk pintu.. “







The end
( perempuan berahim kosong ini juga manusia )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar