NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Minggu, 11 Juli 2010

SAYA, TIDAK INGIN PULANG

Saya tidak pernah mengenal tempat lain. Ruang kerja Saya di kantor. Ruang kerja Saya di rumah. Ruang kerja Saya di kampus. Teman kantor bukan teman Saya. Saya tidak berteman dengan teman rumah. Teman Saya, orang – orang yang punya rasa dan kebiasaan yang sama. Orang - orang yang melenguh dengan nada yang sama. Orang – orang yang makan dari tempat yang sama, lalu bersendawa juga kentut bersama. Tidak punya rasa malu. Di situlah sebenar – benarnya tempat Saya.

Tapi, kenapa Saya justru merasa bosan ?

Di belakang meja kantor. Dari senin sampai dengan jumat. Kadang sabtu dan juga minggu. Tapi, itu bukan Saya. Saya hanya berpura – pura menjadi diri Saya. Mungkin juga, dia itu perempuan yang sangat butuh gajian setiap tanggal 25 setiap bulannya. Sama seperti Saya. Saya juga butuh uang. Tapi, Saya lebih butuh kepuasan. Saya butuh teman. Saya lebih butuh kelelahan pada otak yang mampir setiap ada diskusi – diskusi sastra. Saya jamin, suara Saya yang paling keras di sana. Dan, tepuk tangan meriah untuk semua pendapat Saya, membuat malam seperti kurang panjang. Saya butuh teman dengan otak cemerlangnya.

Tapi, kenapa Saya justru mengeluh ?

Saya sadar kalau tempat Saya memang di situ. Masuk di dalam kelompok yang berkelana dalam malam, hanya untuk membuat lelah otak dan pikiran Saya mengenai kehidupan. Duduk di depan laptop, menulis cerita berpuluh – puluh. Tanpa pernah ada satu yang dikirim ke media.
Percuma.

Berdiri di balkon depan kamar. Merokok. Membiarkan asap terbang mencari ide untuk bahan – bahan tulisan Saya. Menikmati ketegangan otak, dengan sesekali mencuri liat gambar atau film porno. Akhirnya, bukan hanya otak Saya saja yang tegang. Kemaluan Saya juga ikut – ikutan.
Dasar pengekor.

Dan, maaf, kalau Saya harus meminta bantuan salah satu dari jari Saya, hanya untuk mengusir tegang dari otak. Tegang yang menyisakan desah dalam teriakan kecil. Lalu berlari, masuk dan duduk di depan laptop. menyeruput kopi pahit. Membakar mulut Saya dengan batang rokok berikutnya. Membiarkan bibir Saya yang tidak seksi ini semakin hitam. Membuka laptop. Membiarkan jari jemari Saya menari membentuk kalimat dari kata yang berlarian di dalam otak.
Rutinitas setiap malam.
Mengetik. Merokok. Minum Kopi. Mengetik. Merokok. Minum Kopi..

Bangsat. Kenapa Saya tidak senang ?


Rumah. Kantor. Kampus. Rumah. Kantor lagi. kampus lagi. kembali ke rumah lagi.
Pernah Saya balik rute Saya, hanya untuk melihat apakah Saya bahagia dengan rute yang terbalik ini.
Lihat dan bayangkan.
Rumah. Kampus. Kantor. Kampus. Kantor. Rumah. Kampus. Rumah. Kantor.
Saya menarik nafas, selepas Saya menarik kursi meja ruangan. Tarikan nafas bahagia, karena Saya tahu, pilihan kedua itulah adalah Saya.
Bahagianya Saya.
taik..

Orang rumah mulai merenggut kesenangan Saya. rutenya jadi berubah lagi.
Lihat dan bayangkan.
Rumah. Kantor. Rumah. Kantor. Rumah. Kantor.

Mereka bahagia. Saya tidak.

Saya pulang ke rumah, membanting keras pintu kamar Saya. melucuti seluruh pakaian Saya. membiarkan Saya telanjang sambil terus memaki melihat ke bawah. Kamar Saya ada di lantai atas. Kalau sudah begitu, Saya nekat merokok di dalam kamar. Tidak lagi di balkon depan kamar Saya.
Saya tidak peduli.

Saya merokok dan Saya belum sempat berganti baju tidur. Menangis memeluk Blackberry hitam merk Geminy, meracau dalam BBM dengan seorang kawan. Menawarkan pilu untuk ditelan bersama.

Sumpah, Saya tidur sambil telanjang.
Peduli setan.

toh, kamar sudah Saya kunci. Lampu Saya matikan. Mungkin hanya setan yang nafsu melihat Saya. Karena Tuhan, bahkan sudah menutup matanya dari awal melihat Saya masuk kamar dengan marah sambil melucuti baju.

Saya kehilangan moment malam ini.

Salah seorang pentolan kelompok Saya itu, tidak lelah menghubungi ponsel Saya. Ponsel itu Saya biarkan terus berteriak. Saya juga terus berteriak di dalam bantal.

Mereka seperti Saya. Saya adalah mereka.

Kalau Saya tidak ada, mereka akan terus mencari Saya. Sama seperti kalau mereka tidak ada, Saya akan seperti orang gila mencari mereka. Menghabiskan pulsa Saya. menghabiskan lembar SMS dengan tulisan – tulisan Saya dan mengirimkannya berulang kali.

Kehilangan moment di kantor atau di rumah, itu sudah biasa. Kalaupun Saya ada disana. Jiwa dan hati Saya melanglang entah kenapa. Saya biarkan dia pergi.

Malam ini Saya kehilangan moment itu.

Untung Saya sadar sesadar – sadarnya, kalau Saya sudah tua. Tahun ini sudah ada 2 angka 3 di dalam info tentang usia Saya. Saya lirik jam di dinding kamar dekat lemari kaca rias Saya. Jarum panjangnya ada di angka 12 dan jarum pendeknya ada di angka 11. Ponsel sialan ini tidak juga berhenti berbunyi. Saya semakin cemburu dengan orang – orang di dalam lingkar dunia Saya. Orang – orang di dalam nafasnya yang sama. Seperti nafas Saya.
Dan Saya semakin marah dengan orang – orang yang ada di lantai bawah rumah Saya. Orang – orang yang sama darahnya. Malah tidak mengenal jiwa Saya. Orang - orang yang sekarang sudah tidur di dalam kamarnya. Bermimpi mengunci Saya.

Tolong. Saya butuh bahagia.. Saya butuh jadi orang gila.


Hari ini Saya Ulang Tahun.
Ada tulisan dalam account fesbuk Saya. Ajakan kenalan dari seorang perempuan yang hampir saja, Saya kira lelaki. Bukan hanya karena namanya, Wendy. Juga, kerjaannya yang biasa dilakukan oleh lelaki. Satu – satunya alasan Saya mau menerima dia, karena Wendy adalah temannya Adit.
Adit Soengkowo.
Adik Saya dalam kelompok yang tadi Saya sudah ceritakan sebelumnya.
Adit adalah nafas Saya.
Teman keSayangan Saya.
Sahabat keliaran otak Saya.
Tanpa pikir terlalu panjang Saya confirm perempuan itu. Saya kasih pin BB. Saya terima dia dengan kerlingan nakal pada mata. Dia bisa saja jadi bahan tulisan – tulisan Saya. Dasar penulis. Sekali lagi Saya katakan. Ini semua karena Adit.

Kenapa resah ini belum mau pergi juga ?

Dalam perjalanan ke kantor Saya cerita ke Adit via BBM. Wendy adalah teman baru Saya.
Adit kaget.
Demi Tuhan, Saya yang lebih kaget. Karena Wendy sudah mengajak Saya ketemuan di hari pertama perkenalan. Dia juga teman pertama Saya, yang menelepon Saya ke pesawat telpon kantor.
Saya tidak punya alasan untuk tidak menerima tawarannya. Memaksa Adit untuk ikut. Memaksa hati saya. Adit memaksa Saya. Meyakinkan Saya. Ini tawaran malam yang menggiurkan.

Saya percaya. Ada yang mulai berubah, dan melepas Saya.

Kami bertiga merayakan ulang tahun Saya, di sebuah café yang sudah dijamin mutu dan kualitas suasananya oleh Adit. Saya masih ingat nama tempatnya. Kuningan Village. Di sana, Saya bertukar pikiran dan bicara panjang lebar bertiga.
Pertama tentang Adit.
Kedua tentang Saya.
Ketiga tentang Saya dan Adit.
Keempat, sekaligus penutup waktu.
Bicara tentang Wendy dan masalahnya. Saya tercengang. Tercengang Saya malam itu. Bukan karena cerita Saya, atau cerita Adit, atau bahkan cerita Wendy yang sangat panjang.
Karena, ini kali pertama Saya pergi dan nongkrong di café. Jujur, Saya seperti perempuan yang norak. Melewati orang – orang di dalam café yang sedang menonton sepak bola.

Sementara Saya sudah teramat puas nonton di rumah bersama ibu. Sudah teramat gembira nonton di kampus bersama orang – orang gila kesenian itu. dan sekarang, bisa dibayangkan seperti apa rasa puasnya Saya, kalau menonton di tempat ini.

Melihat salah satu personil band keSayangan Saya, yang ternyata duduk manis menonton di sana. Melambaikan tangannya ke arah Saya, dan tersenyum manis, seolah – olah memberikan nilai plus buat diri Saya. Saya sudah bangga. Akhirnya Saya mengerti, apa itu yang bernama kelas.

Tunjukkan Saya kelas yang lainnya.... pleaseee.. Sumpah. Sumpah.

Tidak. Tidak akan. Saya tidak akan berhenti sampai di sini. Saya harus sampai merampok. Mengisi kehidupan Saya yang mulai kosong ini dengan berbagai pengalaman dan juga menambah nama dalam kontak handphone Saya. Adit seperti mengerti apa yang berlarian di dalam otak Saya. Adit hanya minta waktu. Dengan senang hati Saya berikan. Seluruh pekerjaan kantor Saya selesaikan dengan cepat. Bangku kerja Saya ini semakin panas bila berlama – lama diduduki. Seorang teman, bahkan curiga ketika Saya selalu pulang cepat dan melihat semburan merah keluar dari pipi Saya, setiap kali Saya menempelkan tangan Saya di mesin absent lobby bawah. Walau begitu, dia tidak berani mengutik Saya. walaupun setiap malam, sebenarnya dia itu teman Saya pulang.
Saya terlalu sibuk mempersiapkan wajah dan hidup Saya yang baru.

Saya pasrah. Siap dibawa kemana saja.
Percis sama, seperti apa yang dirasakan teman Saya, ketika dia baru saja selesai mengucapkan akad nikah. Dia berbisik di telinga Saya. Saya pasrah selama itu membuat Saya nikmat, begitu ceritanya suatu siang di ruang merokok lantai 3.
Hebatnya Saya. Saya tidak butuh dinikahi dulu, hanya untuk merasakan yang nikmat ini. Yang saya lalukan hanya pasrah dalam mobil Wendy yang menjemput Saya. menjemput Adit, lalu pergi menjemput malam dengan segenap isinya yang pasti akan kembali membuat Saya bergairah.

Saya memang bergairah..

Padahal malam, bukan hal yang luar biasa buat Saya.
Bedanya, malam Saya hanya di dalam kotak dalam kampus. Keluar kotak hanya untuk mengeluarkan hajat kecil atau besar.
Sedangkan malam Saya yang ini, ada di sebuah tempat yang sarat dengan orang – orang dengan gelak tawa mengisi sudut dalam jiwanya.
Satu tempat lagi untuk makan malam mata dan jiwa Saya.

Adit bilang, ini warpas. Warung Pasta. Yup.. Saya sering mendengar nama tempat ini dari seorang teman yang mengaku ratunya dunia malam. Teman yang mulutnya tertawa lebar, ketika Saya menggeleng mengetahui tentang tempat ini. Puas dia melihat saya Cupu.
Tidak bermaksud sombong. Saya mengambil BB dan mulai mengetik di profilenya : @ Warpas.
Membiarkan perempuan sombong itu, ngeping Saya berulang kali. Mungkin hanya untuk memastikan. Kalau Saya tidak berbohong.

Tangan Saya terikat erat dengan tangan Dian. Teman Saya yang baru lagi. Teman yang bahu dan badannya direngkuh erat oleh Adit. Perasaan hangat itu mulai menjalari jiwa Saya.
Dalam hati, Saya minta maaf pada Wendy. Karena ceritanya tidak lebih menarik dari pada pemandangan indah di depan mata Saya.

Persahabatan.
Iya. Bersahabat. Iya. Seorang sahabat. Iya. Seperti dulu Saya selalu merengkuh Adit. Adit selalu merengkuh Saya. Kami berdua tidak peduli, ketika banyak yang marah. Karena Saya terlalu sayang sama Adit.
Ingin rasanya tangan Saya ikut memeluk badan Dian. Saya ingin mengenal dia. Lewat cerita yang bernama duka. Patah hati. Putus cinta. Tai kucing.
Sini, aku peluk Sayang, biarkan lelaki brengsek itu, menghisapi puting perempuannya yang lain. Toh, kamu pemenangnya. 6 tahun bukan waktu yang singkat. Kalau pun akhirnya bukan dengan kamu. Itu hal bodoh yang pernah dia lakukan.
Toast.. gelas ini juga tahu. Siapa yang paling bodoh. Beberapa jam kemudian, kita berdua sudah seperti adik kakak. Sahabat. Teman dekat. Saudara kembar ?

Apa yang bisa membuat Saya ingin pulang malam ini ? tidak ada..!!!

Adit menyisakan tempat duduk untuk seorang lelaki.
Temannya juga.
Temannya Dian juga.
Temannya Wendy juga.
Wow, itu artinya akan jadi teman Saya juga ?

Saya senyum ketika melihat lelaki yang ditunggu itu datang. Senyumnya yang khas. Cara berpakaian dengan topi di kepalanya yang khas. Menghantar tangan Saya kembali memeluk erat tangannya. Namanya Anton. Kerja di Pusat Kebudayaan Jepang.

Pantas, tempat dia bekerja sesuai dengan kualitas setiap kata dan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Ketika Saya memancing berbicara tentang berita aktual di televisi. Berita yang menggeser berita yang sebenar – benarnya. Hebat Ariel dan Luna. Mampu menggeser kasus Century.
Saya tersenyum. Semua mulai bertukar kata dan informasi. Anak nongkrong yang pintar, ujar Saya dalam hati.

Lemon tea sudah berulang kali direffil. Gelak tawa sudah bikin muka Saya pegal. Malam ini, menjadi semakin cantik. Dengan angle menarik dari kamera milik Wendy. Foto kita langsung di upload di dalam fesbuk.
Mereka berempat tidak ada yang tahu, betapa Saya bahagia. melihat muka Saya ada di dalam fesbuk. Bukan hanya tulisan Saya saja.

Malam itu terhenti. Mata Saya melotot. Sudah jam 2 pagi. Beneran ? jam 2 pagi ? Hebat. Saya tepuk tangan dalam hati. Apa yang akan ibu Saya bilang ? sudah 2 malam kamu telat.
Tenang bu, Saya yakin, masih ada malam yang lainnya.

Sumpah bu, Saya tidak ingin pulang, gimana dong ?

Saya tidak perlu ceritakan bagaimana pandangan mata ibu, menatap Saya ketika membuka pintu. Cukup dengan melihat tempelan senyum di bibir Saya. Ibu menyuruh Saya langsung tidur. Tidak pakai menulis lagi. Saya menurut. Harus jadi anak penurut. Masih banyak tawaran malam dari Adit untuk Saya coba.

Kalau saja ibu ikut, pasti ibu tidak ingin pulang.. percaya deh.

Wendy tidak tahu riak Saya malam ini. Saya hanya butuh nama tempatnya saja. Saya tertawa bahagia. Adit memindahkan tempat ketemuan kami. Dari Comic café jadi Piza Café. Tempat apa lagi ini.

Saya tetap konsentrasi ketika memeluk Adit.
Tetap Saya konsentrasi memeluk Anton.

Lelaki bertopi yang rela ikutan padahal badannya sedang tidak enak. Pengorbanan yang setimpal dengan bahagia yang diterima. Suatu saat, Saya pasti akan melakukan hal yang sama. Tangan Saya girang betul, menerima tangan lelaki yang lain. Dua tangan sekaligus. Tangannya Dedi, lelaki tipe kosmo, teman Adit dari Jawa. Pegawai Departemen Keuangan. Tangannya Yudhi, lelaki yang double suaranya sudah membuat Saya penasaran ingin sekali bertemu.
Ternyata, feeling Saya tidak salah.

Yudhi memang menarik.
Sama menariknya seperti Anton.
Tidak kurang menariknya seperti Dedi.

Tetep, yang paling luar biasa menariknya adalah ketika Saya akhirnya menonton pertandingan sepak bola di café.
Dengan bangga Saya kembali menulisnya di profile BB. Dengan singkat Saya kembali membalas pesan seorang teman, hanya dengan satu kata.
Belanda.
Itu sudah cukup membuat dia tahu, kalau Saya menonton bola. Dan profile BB Saya, lokasi Saya nonton. Sudah cukup, membuat kamu yakin, kawan ?

Apa mungkin Saya ingin pulang ? rasanya .. tidak ..!!

Sebelum tidur. Di atas jam 3 pagi. Saya selalu tersenyum. Bukan kali ini saja Saya tidur larut. Setiap kali Saya selesai menulis cerita. Jamnya juga sama dengan jam pulang Saya pagi ini. Tapi, ini jelas berbeda. Dari takaran rasa yang Saya bawa pulang. Berbeda dengan takaran rasa yang Saya bawa tidur setelah Saya menutup laptop dan mematikan lampu.

Sayang, kita ketemu nanti malam di kampus ?

Aduh. Saya lupa. Ada janji meeting malam ini.

Saya menyesal. Maafkan Saya.

Tidak pergi malam ini bersama Adit. Lebih membuat Saya menyesal. Saya sedang bergairah. Menatap wajah malam nan lembut dengan sorak sorai gempita hati. Teman Saya bertambah hanya dalam beberapa jam. Dalam perjalanan ke Plaza Semanggi, Saya bertanya terus di dalam hati. Malam ini, Saya mau dibawa kemana ?

Kehidupan Saya beberapa hari ini, dipenuhi oleh cerita – cerita Wendy. Saya menaruh kasihan padanya. Jika saja cinta ditempatkan tidak sembarangan. Wendy pasti sekarang sudah bahagia dengan cintanya. Saya juga sedang tidak bahagia. Kepala Saya juga dipenuhi banyak cerita.
Adit, membuat kepala Saya menjadi ringan. Karena cerita ada tempatnya nanti. Nikmatilah malam. Berceritalah kemudian.

Isilah malam tidak hanya dengan bercerita. Bernyanyilah. Maka, malam ini penuh nada indah. Duet suara Yudhi dan Anton, memanggil airmata Saya keluar membasahi wajah. Saya tidak bergairah bernyanyi. Libido Saya justru memuncak mendengar suara emas mereka. Selamat yah Ninu. Suara pacarmu yang bernama Yudhi itu, sungguh luar biasa.
Kasihan deh, mantan pacarnya Anton. Suaranya sekarang hanya untuk kami. Adit. Dedi. Wendy. Dian. Saya. Ninu.
Sekali lagi. Saya tidak menyesal pulang pagi. Bahkan sampai sekarang Saya masih ingat lagu yang membuat Saya menangis. Benci tapi Rindu.

Benci. Saya tidak ingin pulang.. tau ga sih ? itu karena saya rindu.


Bukan hanya tempatnya yang membuat Saya tidak ingin pulang. Teman – teman baru Saya itu alasan yang sebenarnya. Mereka alasan Saya untuk tetap merasa harus tinggal dalam malam. Karena alasan itu. Saya kembali bercerita tentang petualangan malam terakhir Saya.
Kepala Saya mendongak. Saya memang cupu. Cupu itu adalah Saya. Mendongak kepala Saya sekarang. Saya sudah tidak Cupu.

Saya tidak tahan untuk berpisah dengan mereka. Malam ini perpisahan itu ternyata belum terjadi. Tangan Saya berteriak – teriak memanggili tangan lelaki ganteng, teman baru Saya yang lainnya. Yang berdiri di depan Saya.
Saya Mpok. Saya Arga. Saya Ian. Saya Arnis.
Bukan, namanya Bro, Adit teriak sambil tertawa.
Arga, cowok batak ganteng berkacamata itu tertawa.
Ian, cowok manis berkawat dengan senyum khasnya itu juga tertawa.
Arnis, yang selalu tampak cantik dan seksi itu tidak marah dipanggil begitu. Buktinya. Dia juga tertawa.
Saya juga ikut tertawa sambil terus merokok. Wendy juga ikut tertawa sambil terus memegang kameranya.

Tawa itu mengikuti sampai ke dalam gedung bioskop. Tawa yang datang dari bangkunya Ian. Ian tidak menonton. Ian tidur.
Saya menonton film yang sebenarnya Saya tidak suka genrenya. Berulang kali Saya harus menganggu konsentrasi Adit. Sekali lagi. Saya tidak perlu filmnya. Saya butuh pertemanan ini.
Dulu, ketika Saya masih pacaran. Kekasih Saya selalu minta dipeluk dan dicium sebelum dan sesudah film dimulai dan selesai.
Ehm.. pengalaman yang membuat Saya mual mau muntah. Saya tidak peduli masa lalu itu.
Saya peduli, karena Anton Absen. Dian Absen. Dedi Absen.
Saya merindui mereka. Saya harap di bandung, mereka juga merindui Saya. Sambil terus menahan rasa rindu itu. Saya selesaikan film ini. Dengan tepuk tangan.

Arga pegang Jerman. Saya juga. Adit juga. Wendy juga.
Ian dan Arnis, entahlah. Mereka berdua pergi menyelinap.

Sementara, kami terus loncat – loncat kegirangan.
Jerman menang 4 – 0. Goal yang indah. Bola yang meluncur ringan masuk ke dalam gawang lawan. Kami tersenyum, melihat Maradona stress mukanya. Sudahlah. Memangnya Saya kenal dia.

Sudah malam. Ibu Saya mengamuk. Saya janji tidak pulang malam. Ups.. maaf bu, Saya pulang pagi lagi.

Warung Pasta itu memanggili nama kami satu demi satu. Malah sekarang bertambah 2 nama lagi. Mia dan Berry. Dalam satu meja yang panjang. Saya sudah lebih ringan untuk hadir dan duduk di sini. Memanggili pelayan, dan mulai memesan makanan. Cheese Me Up, pliss…
Mulut Saya penuh oleh makanan. Mulut Saya juga penuh oleh cerita. Cerita yang baik dan kotor. Sama saja. Mereka tertawa. Pencerita yang baik dan Badut sama terhormatnya. Itu menurut Saya. Sesekali, Saya melirik Adit yang sudah mulai diam. Antara mengantuk atau kekenyangan. Berry pacarnya Mia gelisah melihat jam. Perasaan Saya jadi tidak enak. Shitt..!!
Sudah beberapa kali pulang di atas jam 2 pagi.

Sebenarnya Saya belum mau pulang. Saya benar – benar menolak tegas untuk pulang. Bukan karena tempatnya. Saya butuh kenangan ini. Saya butuh mereka melengkapi kesepian hidup. Saya butuh mereka untuk tawa yang telah lama dikunci. Saya butuh malam yang banyak cahaya. Saya butuh Adit. Saya butuh mereka. Mudah – mudahan mereka juga butuh Saya. kalau sebelumnya, tangan Saya memeluk tangan mereka. Sekarang, Saya memeluk dan mencium mereka. Teman – teman baru Saya. Memeluk Adit paling lama.

Teman memang selalu membuat Saya tidak ingin pulang.
Saya benar – benar tidak ingin pulang sekarang.
Tidak ingin Saya pulang sekarang.
Memang Saya tidak ingin pulang.
Tidak ingin pulang.
Selalu Saya tidak ingin pulang karena teman.

SAYA TIDAK INGIN PULANG…!!!


The end.
Senin, 5 juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar