NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Jumat, 29 Januari 2010

JANGAN MENYERAH

Tak ada manusia, yang terlahir sempurna. Jangan kau sesali segala yang telah terjadi. Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat. Seakan hidup ini tak ada artinya lagi.

Ruang kerja kantor, Jakarta januari 2010.

Malam sudah beranjak pergi meninggalkan senja, tapi kaki dan badanku masih kaku terpaku di bangku. Bangku meja kerjaku, yang begitu aku cintai, teramat cinta, walaupun mereka hanya benda mati, yang tidak bisa melongok jauh ke dalam hati nuraniku yang merapuh, seperti gelas retak yang tinggal menunggu waktu untuk segera pecah.
Apalagi kala pandangku jatuh pada tumpukan kertas – kertas yang tingginya seperti gunung, kertas – kertas yang bernilai, bernilainya terlalu besar, terlalu besar untuk diimpikan, bahkan memikirkannya pun, aku rasa, aku tidak layak, besaran nilai yang tidak sepadan dengan nilai yang tertera di mesin ATM rekeningku, tanggal 25 setiap bulannya. Tumpukan kertas yang harus segera diurus, supaya tidak banyak mulut yang mengeluarkan suaranya, suara – suara bising yang isinya hanya menuntut, tanpa mau tahu berapa banyak keringat dan kerut – kerut di wajah ini dari awal membuka pintu sampai akhirnya menutup pintu, belum lagi kertas yang terpikir dan terbawa sampai ke tempat tidur, mungkin hanya aku yang tidak pernah bermimpi, atau malah tidak boleh bermimpi ?
Sekedar mimpi untuk tempat tersenyum, melupakan sejenak sahabat – sahabat kertas yang setiap hari mengepung dan mengelilingi aku.

Masih di dalam ruang kantorku yang sama, masih berlagu yang sama. Musik dari hati. Hati yang masih terluka.

Hanya bait – bait dari lagu dmassiv itu yang selalu bergetaran di dalam jiwaku, jiwa yang sekarang selalu sedih menatap hari, hari ini, hari esok, hari lusa… apalagi, masa depan.
Seperti malam ini, masih di ruang ini, tatapanku jalang memanjang, menatap bangku – bangku dan meja – meja yang kosong, karena penghuninya sudah pergi menerima panggilan mimpinya. Sementara aku yang tidak pernah punya mimpi, sendirian menatap jam di dinding sebelah kiri ruangku, jam yang jarum pendeknya ke angka 10 dan jarum panjang tepat meminang angka 12.
Sampai bosan aku menghela nafas panjangku berulang kali, nafas yang penuh keluh kesah dan disimpan sendiri di ruangan hati. Nafas yang selalu bernada panjang dan miris. Teriris tipis oleh pisau tajam kehidupan. Hidup aku.
Hatiku sedih, malam ini. Bahkan mungkin setiap malam.
Mungkinkah, bangku tempat aku duduk, terbang menembus malam, dan membawa aku pergi dan semoga tidak akan pernah kembali dan menapaki kertas – kertas ini. Bawa aku pergi jauh, ditempat dimana suaraku didengar.
Tempat dimana, lembaran mengisi kantongku agak berlebih.

Malam ini, aku sadar, sesak sudah mengincar lama, membuat kabur pandanganku pada tumpukan kertas yang harus segera diurus, dan yang namanya deadline. Sesak ini juga punya nama, sesak ini kembali teringat, apa kabar motor kesayanganku, yang sementara waktu, tidak bisa menemani perjalanan panjangku dari rumah ke kantor dan dari kantor pulang ke rumah, motor yang sudah tua, yang akhirnya terpaksa terawat inap di sebuah bengkel, dan motor yang biaya perawatannya, membuat mataku melotot sambil menatap kertas berisi angka di tangan. Jemari yang bergetar membaca.

Ya Tuhan, dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu ?

Mau pingsan rasanya, tiga lembar uang seratus rupiah bukanlah jumlah sedikit untuk dompetku yang tidak pernah berisi, kertas yang akhirnya aku masukkan dalam dompet yang kosong, dan memberikan gelengan beberapa kali sebagai jawabku kepada si empunya. Gelengan yang menghantar aku pulang… sendirian.
Gelengan yang menghantar mataku menatap motor yang kembali dimasukkan ke dalam salah satu ruang di sana. Ruang yang berkaca, aku bisa merasakan benda itu memanggil – manggil aku. Motor yang ditinggalkan sampai aku bisa mengembalikan kertas dengan lembarannya yang menempel.. dan selama motor itu masih di sana, aku akan kehilangan lembaran yang setiap hari membuatku tenang. Bensin yang pasti terisi dan lembaran untuk anak – anak.
Mataku yang terus menatap motor itu dan akhirnya pandanganku kabur..
ingatan akan sebuah motor yang kertas penebusnya masih betah di dalam dompet. Ingatan yang membuat sesak itu kembali mengincar aku. Sesak memikirkan lembaran yang harus keluar setiap hari.

Masih tetap di dalam ruangan kantorku, walau hari sudah kelewat malam.
Aku tidak bisa lagi menahan rasa sesak ini, sungguh luar biasa siap – siap menyerang, segera aku bereskan semua kertas – kertas yang berantakan di atas meja, mematikan komputer seraya mengucapkan selamat tinggal pada sudut ruang mejaku yang isinya hanya tumpukan – tumpukan kertas.
Melepaskan lem yang menempel pada bangku, bangkit berdiri dan terdiam di depan pintu. Sekali lagi menahan nafas, mematikan lampu dan menutup pintu, tetapi tetap saja, sesak itu mengikuti terus, dari anak tangga teratas sampai turun ke anak tangga yang paling bawah, sesak yang tidak pernah ada obatnya.
Sampai di lobi, aku duduk di sofa sambil merunduk, mengatur nafas yang turun naik tidak terkendali, aku sedih.
Aku tau aku ini seorang laki – laki, yang seumur hidupku masih berselimut kemiskinan, masih miskin yang namanya tidak pernah berubah, tapi aku tidak pernah merasa sedih seperti ini, lantas, aku mengambil sesuatu dari dalam saku celana, lembaran untuk modal pulang ke rumah, lembaran yang menyelamatkan hidupku untuk malam ini, tapi tidak tahu, apakah masih ada lembaran tersisa untuk besok pagi ? sekali lagi menarik nafas, nafas yang hanya ingin ditarik, tidak mau dihembuskan lagi. Biar aku tidak lagi merasakan sedih, hidup tanpa lembaran.
Pandanganku mengabur, aku berdiri dan keluar kantor sambil menyapa petugas jaga, temanku setiap malam, “ pulang ya pak.. “ sahutku pada beliau, dan lalu berjalan pelan meninggalkan kantor, dan memandang sekilas ke arah gedung yang tampak kokoh, gedung yang selalu membuat aku merasa bangga jadi bagian kecilnya, tapi gedung yang kokoh ini tidak pernah mau tahu, seperti apa kesedihanku malam ini, dan malam – malam lainnya.
Memang seperti tidak masuk akal, kalau aku sama sekali tidak punya uang, dompet bagus hadiah pemberian seorang kawan inipun, sudah lama kosong, hanya beberapa kertas yang menyempil, bahkan nilai yang aku terima setiap bulannya pun membuat aku terus menombok, padahal sudah menambah waktu kerja sampai ke sabtu, tapi tetap tidak membuat dompetku isinya bertambah. Selalu saja kosong.
Aku terus membiarkan langkahku meninggalkan pelataran kantor, sambil menikmati jiwa yang bergetar, kerja sudah terlalu keras, tapi mengapa hanya sekedar ongkos saja, aku tidak punya.
Seorang bapak yang bahkan untuk memberikan buah tangan untuk anak – anakkupun, aku tidak sanggup, anak – anak yang begitu bangga melihat bapaknya bekerja di situ. Sebuah kantor yang bukan hanya kebanggaan aku dan anak – anak, tapi aku yakin, juga jadi kebanggaan semua orang.
Apa arti kerja keras ini, aku kerja untuk siapa ? aku membahagiakan siapa ?
Aku terus berjalan menyusuri malam yang semakin bergerak menjauh, sambil sesekali membuang pandangan jauh, mencari bis yang akan ditumpangi.

Pada sebuah bis, malam hari.. perjalanan menuju ke rumah.

Naik dan duduk di dalam bis, tidak membuat sesak itu beranjak pergi, tetapi malah kian menempel serupa sahabat, pergi..!!
Aku tidak mau melihat kamu serupa setan. Sekumpulan iblis – iblis, yang sekarang sedang menertawai aku. Tertawa akan kebodohanku.
Kalau saja aku bukan laki – laki, kalau saja sekarang aku tidak berada di dalam tempat dimana orang – orang duduk dan berdiri sambil menghimpit aku, mungkin, aku akan biarkan saja air mata ini jatuh. Air mata seorang lelaki yang rapuh.

Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik…

Lagu itu mengalun indah di dalam hatiku, hati yang kerap bernyanyi.
Perjalanan pulang yang panjang ini membuat lamunanku, menempel di kaca bis, dan membiarkan sesak itu ikut mendengarkan laguku, sampai akhirnya pulang ke rumah. Lagu indah yang terus mengikuti dari bis pertama sampai bis keempat. Turun, dan melangkah nyaman ke beranda rumah, tanpa mengetuk langsung masuk ke dalam.
Aku sadar, sesak itu terus mengikuti aku.

Teras depan rumahku, tengah malam, angin berhembus membawa lagu sampai masuk ke dalam hati.

Aku sampai di rumah, semua sudah tertidur, pelan tanpa bersuara, aku mengganti baju, dan memilih untuk duduk di depan rumah, sambil menghisap batang rokok terakhir dari bungkus yang barusan jatuh terbuang ke lantai.
Sialan.. sesak itu terus ada sampai di sini, duduk di sampingku dan sesak itu semakin kuat menekan terus dadaku, sampai aku terus menekan dadaku menahan nyerinya dengan sebelah tangan. Rokok yang belum habis terbakar ini, harus aku relakan terinjak dan terbuang, lidah yang sudah tidak nyaman menyimpan dan melepas asap.
Hati ini mulai menangis, diam – diam, aku mengikuti langkah kaki memasuki kamar tidurku, melihat seorang isteri tidur dalam kesenyapan dan keteduhan, walaupun aku tidak bisa lari dan masuk ke dalamnya, aku hanya bisa memohon maaf atas ketidakmampuan mengejar bahagia, kaki ini sudah lelah berlari, berusaha menangkap bahagia, untuk aku persembahkan. Tetapi lariku belum cukup kencang.

Masih dengan diam, aku menutup pintu dan kembali melangkah lagi ke dalam kamar anak –anak yang terkumpul menjadi satu. Rumah yang hanya memuat dua kamar, untuk semuanya.
Aku dekati tempat tidur dan melihat dari dekat wajah – wajah polos itu, anak – anak yang baik. Aku bersyukur memiliki isteri dengan rahim yang baik, sehingga melahirkan anak yang baik juga. Tidak pernah mengeluh, walaupun aku tidak pernah beruang, tidak pernah mengajak kaki dan badan mereka bergembira. Tapi mereka selalu bangga memiliki aku. Apalagi kebanggaanku memiliki mereka. Tidak bernilai.
“ Bapak minta maaf.. “ bisikku sambil membelai rambut mereka.

Aku belum sempurna jadi bapak.
Belum bisa dibilang orang tua.

Tapi bekerja sambil mengingat muka kalian satu demi satu, selalu membuat adrenalin aku bergetaran, membuat jemari tangan dan langkah kaki menguat. Anak – anak adalah pusat energi dalam kawah kerjaku.
Sebelum keluar kamar, aku hadiahi kening mereka dengan ciumanku.
Aku sungguh berharap betul, kantuk ini menyerangku, dan membuat aku kewalahan dan lantas tertidur, tapi nihil rasanya. Kantuk itu malah berkeliaran menjauhi aku.

Aku mau tidur.

Aku membaringkan badan dan pikiran yang lelah ini, di kursi ruang tamu, kursi yang tidak terlalu nyaman, tetapi aku tidak peduli, karena memang hanya ini yang bisa aku beli, untuk menghiasi rumahku. Istanaku.. terbeli dari sisa gaji yang tidak seberapa, tapi terkumpulkan juga akhirnya, itulah kenapa aku selalu bangga duduk di atasnya.
Sekuat tenaga aku mengumpulkan sisa semangatku, tapi.. tiba – tiba, sesak itu menampakkan lagi mukanya di depan aku, edan… mereka ternyata mencariku sampai ke ruang tamu, lalu menangkap aku, dan sekarang sesak itu mulai mencakar kepalaku, menekan dadaku seperti sebongkah batu besar berdiri di sana, dan merobek – robek hati maupun jiwaku.. sesak itu memukul – mukuli badanku, menghajarku habis – habisan, menampari aku.. menghujani aku dengan rangkaian kata – kata yang membuat aku ingin sekali lari ke dalam kamar mandi dan menenggelamkan kepala dan badanku ke air di dalam bak besarku.

Tolong..
Tolong..
Tolong..

Pergi.. SETAN…!!!

Kamu segala yang menyesakkan aku, segala sesak yang tidak membiarkan aku tidur dan sesak yang menghilangkan batas aku mencintai mimpi, aku membutuhkan mimpi hanya untuk sekedar melihat mukaku tersenyum, aku mohon.. aku hanya ingin tertidur dan melepaskan segala siksaan yang kamu beri kepadaku malam ini.
Teriakkanku kencang dalam hati, karena aku tidak mungkin berteriak kencang, aku tidak mau mengganggu mimpi isteri dan anak – anakku. Walaupun aku tidak pernah merasakan punya mimpi.
Perlahan, sesak itu pergi, meninggalkan sunyi dan sepi yang menyertainya. Aku segera mengambil segelas air putih dingin dari teko di atas meja.
Membiarkan kerongkonganku disiram air. Segarnya betul – betul mengalahkan segala lemahku. Lalu aku biarkan, badanku kembali berbaring di atas kursi ruang tamu, dan aku tidak menyadari, lelah yang begitu hebat, yang membuat kedua bolah mataku juga ikut kelelahan dan akhirnya pun bola – bola itu terpejam. Malam yang bersahabat dengan rasa lelah, memberikan ruangnya untuk sekedar tidur dan beristirahat. Walau tetap tanpa mimpi.

Masih tertidur di bangku ruang tamu yang dingin.

Jam setengah tiga pagi, aku terbangun, entah apa yang membuat badan ini kembali siaga, ternyata sesak itu kembali lagi datang… oh Tuhan, kenapa datang lagi ? dan sekarang lebih parah lagi, ikatan ini semakin kuat dan aku tidak bisa benafas, Kurang ajar.. sesak itu bahkan membawa puluhan bahkan ratusan teman – temannya, waktu yang hampir pagi ini, kembali mengepung aku dengan sesak – sesak yang berteriak. Dan sesak itu tidak peduli kata hatiku yang meminta ampun. Teriakan yang semakin membuat serangan yang bertubi – tubi. Aku mau mati. Hentikan terror ini, aku jungkir balik, menahan rasa sesak yang meneror.
Akhirnya pertahananku lepas juga, aku menahan rasa sakit ini sambil menangis, tertatih aku berjalan menuju air di belakang rumahku, jalan yang terhuyung, karena terus digelayuti puluhan sesak di kedua pergelangan tangan dan kakiku, sesak yang sekarang semakin berani berdiri di atas kepalaku, membuat beratnya kepala, bukan main rasanya. Mataku terus menangis sambil mencari air.
Tanpa peduli dengan rasa sesak dan rasa sakit yang terus mengunci hatiku, aku memainkan jemari tanganku, mengambil wudhu, dan sekuat tenaga aku menggelar sajadah di lantai rumahku yang dingin hanya bersemen. Aku menunduk dan menggelar doa. Rangkaian kalimat yang seketika membuat, kepalaku ringan, rangkaian kalimat yang mencipta bahagia dalam sebuah relung yang tersembunyi, rangkaian kalimat yang mengalir dari mulutku yang dari tadi terkunci rapat, aku sungguh merasakan hadirnya Tuhan malam ini, di rumahku, di depanku, tangan lembutNya terasa betul membelai kepala, wajah dan badanku, seraya terus memelukku, dan aku membalas pelukan itu sambil menangis..
Ya Tuhan, aku memang hanya seorang lelaki yang bernama pekerja yang tidak pernah diwisuda, berijazah sampai tingkat menengah saja, tapi pengalaman, adalah guru dalam bekerja, buktinya aku bisa membereskan semua tumpukan – tumpukan kertas, yang nilainya puluhan bahkan ratusan juta, nilai yang akhirnya beralih dari kertas sampai ke masuk ke nominal di dalam ATM mereka, itu semua hasil usahaku..
Tetapi ya Tuhan, mengapa tetap Engkau samakan nilaiku dengan nilai teman yang kerjanya hanya mengaduk kopi dan mempersembahkan kopi itu di depan meja seluruh temanku.
Apakah ini yang namanya keadilan ? apakah mulutku tidak boleh mengucapkan kata protes sama sekali, sementara setiap hari, kerjaku hanya juga menumpuk utang, utangku sama tingginya dengan tumpukan kertas yang setiap hari ada di atas mejaku.
Aku juga lelaki, yang punya malu, selalu menerima nasi dari lembaran yang keluar dari dompet orang lain. Ataukah aku harus menyimpan rapat – rapat harga diriku di laci meja dan membuang kuncinya jauh ?
Tapi aku tidak mau putus asa, karena wajah – wajah polos di dalam kamar itu, merentangkan harapan untuk aku. Aku harus membuat mereka, berdiri di atasku, dan menendang rasa sesak ini, sampai terlempar jauh ke belakang. Aku mau melihat mereka dengan tatapan banggaku. Jangan menyerah.
Aku janji, aku tidak akan pernah menyerah, sama seperti aku tidak pernah menyerah untuk selalu mengurangi tingginya tumpukan kertaas ini, aku tau, Tuhan selalu ada di dalam hatiku dan hati anak – anakku, Dia selalu menarik aku dari kesedihan menjadi sebuah semangat, semangat yang aku yakini akan menjadi harapan, yang nantinya akan menjadi milikku.
Mulai sekarang, aku akan bergerak tidur dan mulai untuk bermimpi, karena di dalam mimpi itu aku merasakan hidup yang sesungguhnya, apalagi aku selalu dikelilingi oleh orang – orang yang memegang tanganku ketika aku mulai goyah dan hampir jatuh, tangan yang selalu menarik tanganku, ketika aku lengah mulai mendekati lubang, dan tangan yang selalu membagi cintanya buat aku.
Aku mau tetap jadi bapak yang selalu semangat, seorang teman yang tidak pernah menyerah dan seorang bawahan yang punya mimpi, mimpi yang akan dinyatakan oleh seorang yang ada di atas aku, mimpi yang untuk aku, isteriku, dan untuk anak – anakku.

Masih di lantai dengan sajadah dan peci.
Aku mengakhiri doa, dan mengucap syukur atas rasa sesak, yang sekarang benar – benar sudah hilang, mereka menguap, entah pergi kemana, rasa sesak yang sekarang berganti menjadi rasa damai, tenang dan bahagia, menerima waktu yang terus bergerak menuju pagi, waktu yang tadinya, begitu aku benci, matahari pagi yang selalu aku usir kedatangannya, tapi mulai sekarang, aku tidak akan pernah berhenti berharap, tidak akan pernah menghentikan jalannya mimpiku. Apalagi melihat dan mendengar riuh tepuk tangan sajadah dan semua barang – barang yang mengitari lantai tempatku bersholat.
Akhirnya aku bisa tersenyum, melangkah ke samping badan seorang isteri yang sudah lama terlelap, membaringkan badan dan akhirnya terbangun dengan sebuah semangat yang berlipat ganda hadirnya, semangat yang berbuah dari sebuah harapan dan mimpi.

Jangan menyerah.
Jangan menyerah.

Karena aku masih tetap boleh bermimpi.

Walaupun belum tahu adakah lembaran utk ongkos pergi pagi hari…



The end
( untuk seorang kawan, yang sempat mematikan langkah dan memilih untuk menyerah… keep moving … )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar