NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Senin, 18 Januari 2010

KUNAMAI KAMU CINTA

Pada sebuah malam, tepatnya pukul sepuluh, di atas rajang kamarku, aku belum tidur, sibuk menunggui mataku untuk lelah, tapi nampaknya mata ini ini tidak akan pernah lelah, apalagi kalau aku sedang menatap wajah polos perempuan yang terbaring di sebelahku ini, perempuan paling cantik yang diberikan Tuhan sebagai hadiah atas hidupku, perempuan yang kunamai dia, cinta.

Seperti halnya mataku, begitu juga tangan sebelah kananku sibuk memacari telinga kanan perempuanku ini, jadilah malam ini aku “ garing “ karena menunggui mata yang memacari wajah yang tidur, dan jariku memacari telinga yang diam keasyikan.
Sementara tanganku yang lainnya, seperti tidak mau kalah dengan pasangannya, ikut juga sibuk membuat lingkaran pada perut perempuanku, membagi kehangatan ini “ seumur hidup “, sejurus aku memandang, wajah yang penuh kerut – kerut sedemikian rupa, kerut yang sudah menelan kisah hidup terlalu lama, kerut yang tidak pernah aku undang untuk ikut merobohkan pertahanan kelakianku dan kerut yang kenalkan aku pada makna kata cinta yang sebenarnya.

Cinta yang tidak pernah jadi perhatianku selama ini, karena buatku cinta itu seperti “ penjajah “, yang berisi jeruji panjang yang berbentuk sel dalam hati dan memagari rumah kediamanku dengan api, api yang orang kerap menyebutnya “ cemburu “, aku malas berkenalan dengan semua retorika gila itu, aku mau cinta yang sebenarnya, cinta yang benar turun dari mata pindah ke hati, cinta yang memenuhi hampir delapan puluh persen dari mimpi malamku, cinta yang benar namanya cinta, bukan cinta yang kalau marah, berubah menjadi tali gantungan, yang sewaktu – waktu mengincar kepalaku dan membuat aku beku selamanya.

Aku butuh cintaku.
Tidak terlalu muluk sebenarnya.

Buktinya, beberapa kali aku berkenalan dengan cinta, semuanya membuat aku kehilangan kepalaku berulang kali, jadi jangan pernah salahkan aku, kalau ada pagar besar dan tinggi di seputar kepala dan badanku ini. Aku membutuhkan seorang perempuan yang mengelus kepalaku dan menciumnya setiap malam, bukannya seorang perempuan yang hobinya mengikat dan membenturkan kepalaku, lalu tertawa terbahak – bahak, melihat aku menciumi kepalanya sambil menangis, “ minta untuk kembali “.. cuuiihhh…
Aku selalu menangis setiap kali mengingat cinta ibu ku pada seorang ayah yang sudah “ pergi jauh “, cinta yang selalu membara, sampai saat ini.

Aku mau perempuan seperti ibu.
Aku mau seperti ayah, yang pintar mencari kepala.
Aku mau perempuanku seperti ibu, yang setia sampai ayah mati.
Perempuan yang selalu mencuci dan membersihkan cintanya sampai mati.

Pada sebuah malam, tepatnya pukul sebelas malam, aku masih belum bisa tidur.
Sebenarnya dan sesungguhnya, tangan kanan saya ini, belum mau lepas bermain di telinga sebelah kanan perempuanku, perempuanku yang belum bisa berkawan mimpi sebelum tersentuh oleh sentuhan halus di telinga kanannya, bibir tipis yang berwarna dan wangi cendana dari lekuk tubuh perempuanku yang sekarang tampak sudah mulai tertidur ini, mengaburkan pandangan mataku, dan tiba – tiba melempar mundur aku, jauh ke sebuah tempat yang namanya kenangan.

Melangkah mundur, dan mundur..
Mundur sambil terus tersenyum..
Tersenyum, mengingat pertemuan cinta.

Pada sebuah malam, tepatnya pukul sepuluh lewat lima menit, aku belum bisa tidur dan mulai bercerita, sambil tangan kananku, terus mengelus telinga kanan perempuanku ini, yang sebenar dan sesungguhnya sudah tertidur ini.
Tiga bulan cinta terlahir dari sebuah kenangan, suatu senja di sebuah warung kopi di sebuah sudut kota, warung kopi yang ramai, selain ramai karena kenikmatan rasa minuman dan makanannya, juga special tambahan karaoke, musik yang dipersembahkan untuk para tamu warung kopi yang lumayan kecil tempatnya, tapi melahirkan aura kesejukkan yang mengendap ke dalam relung jiwa – jiwa para lelaki, dan menghadirkan suka cita yang mendalam. Suka cita para lelaki yang setiap kali bahkan setiap hari, mampir di sana.

Sebuah virus yang menagih. Seperti makan kacang.
Dan Aku adalah satu dari puluhan laki – laki itu. Laki – laki yang mulai ketagihan.

Aku laki – laki yang kehilangan cinta, sudah sejak lama, sampai sekarang.
Aku yang dulu adalah seorang laki – laki yang tahu betul bagaimana mencintai dan dicintai oleh seorang perempuan, dan saya seorang laki – laki yang tahu betul bagaimana memilih seorang perempuan, tapi ketika panah itu patah berantakan dan tercerai di jalanan, aku memutuskan untuk mematahi dan menutup saja keahlianku itu..
Maka dari itu mengapa sekarang aku tidak ubahnya seperti seorang laki – laki bodoh, yang mengingkari takdir untuk memiliki cinta, yaitu dengan menjauhi cinta.
Tapi, tidak pernah terbayangkan maupun dibayangkan, kalau warung kopi ini akan menjadi penentu langkahku “ berikutnya “, langkah yang akan aku mulai ketika aku masuk ke dalam warung ini, dan keluar juga dari sini, dengan cinta yang sudah kupeluk dan tidak akan pernah kulepaskan.

Seperti sore ini,dan sore – sore yang lainnya, sepulang dari kantor, aku pasti mampir ke warung kopi ini, sekedar melepas gelisah yang mengekor dari balik meja kerjaku, sekedar memanjakan kerongkonganku dengan segelas kopi yang enaknya bukan main, kopi yang sepertinya diaduk dan dipersembahkan dengan penuh rasa cinta.
Biasanya, aku bisa berlama – lama sekali duduk di sana.
Sendirian.
Aku mau jujur, sebenarnya aku tidak pernah tahu sebelumnya kenapa aku suka berada di sini, awal perkenalanku dengan tempat ini, hanya karena, setiap kali aku melangkah pulang dari kerja, aku kerap mendengar suara merdu yang sedang bernyanyi.
Suara perempuan.
Suara yang selalu sama, dan lagu yang juga selalu sama. Suara yang menghentikan langkahku, suatu kali, dan suara yang membuat aku tidak kuasa menolak permintaan kaki, jiwa dan seluruh panca inderaku, untuk hanya sekedar menengok ke dalamnya.
Ini sungguh hanya sifat penasaran saja.
Aku tidak suka kopi.
Tapi aku suka bernyanyi.
Tapi bertemu dengan tempat itu, membuat aku ketagihan kopi.
Dan aku semakin suka bernyanyi.

Suatu sore, di sebuah tahun dan di sebuah bulan, aku akhirnya menengok ke dalam warung itu, seperti pencuri, masuk diam – diam, dan mencari tempat yang paling belakang, supaya aku bisa mengintai seluruh ruangan dengan mataku yang bak peluru laras panjang ini.
Saat aku duduk, dan mulai berasap,mengatasi kegalauanku sendirian di tempat ini, dan lalu, aku melihat seorang perempuan berdiri di atas lagunya sendiri dan perempuan dalam genggaman sebuah pita suara, keindahan lekuk lagu itu membuat aku tidak mampu menutup erat mulut, tidak mampu menahan getaran mata yang tidak sekalipun menghadirkan kedipnya, tidak mampu menghentikan mulut yang terus berasap, dan mulai bergerak mengikuti irama lagu.
Aku bisa melihat semangat yang menempeli perempuan itu, perempuan yang dalam balutan keseharian, dengan selalu berwarna merah. Perempuan yang sebagian usianya sudah ditelan senja. Perempuan itu yang akhirnya aku kenal, sebagai pemilik tempat itu.
Tanpa sepatah kata, aku hanya selalu datang dan datang kembali ke tempat itu, aku datang merindui lagu yang selalu diulang, dan merindui penyanyi yang selalu mengulang.
Penyanyi dan lagunya merampas mata dan hatiku. Aku sempat berfikir bahwa aku sekarang mungkin sudah gila.
Apa artinya sebuah lagu dan penyanyi yang sama ? hanya sebuah pengulangan yang tidak berarti, lagu yang akhirnya aku tahu, bahwa itu dikarang sendiri oleh ibu ratu ( nama pemilik warung dan si penyanyi itu ), dan selalu dinyanyikan setiap kali, dia mulai membuka warung di sore hari.
Selalu begitu, dia begitu bangga dengan lagu dan kemerduan suaranya.
Suara yang tidak pernah menyiratkan usia.

Pernah suatu kali, aku datang ke warung itu, dan mendapati lagu yang sama itu, tetapi bersuara yang lain, aku kecewa, mataku berkeliaran mencari pemilik suara, yang ternyata sampai warung itu tutup, tidak juga terlihat.
Ke mana, keindahan itu ?
Hah ? yang seperti itu, kamu bilang indah ? si hitam dari dalam kepalaku mulai galak teriak.
Iya, memang itu indah, keindahan yang selalu mengekor sampai ke kamar tidurku. Si putih akhirnya keluar juga dari dalam kepalaku dan menjawab penuh kelembutan.
Dasar bego !! punya paras ganteng, otak encer, tubuh atletis, koq, punya rasa yang mencair, apa dunia ini sudah terlalu tua, sehingga penuh dengan orang – orang idiot yang bodoh mengartikan sebuah keindahan. Masih sengit si hitam.
Putih tidak mau mengikuti ketinggian hati hitam, dia hanya tersenyum, sambil mengerlingkan matanya manja, katanya pada hitam, mungkin ini yang namanya cinta.
Cinta ??? bah..!! cinta itu juga butuh kaca, mau aku pinjamkan, putih ?
Tidak usah, hitam, terima kasih. Aku tidak butuh kaca, karena aku sudah berkaca pada perempuan itu.
Dan kaca itu pecah kan ??
Tidak, kaca itu bahkan sekarang hidup di hatiku.
Aaakkkkkhhhhhhh……. Si hitam pergi sambil teriak kencang sekali.
Sedangkan si putih, masih di kepalaku, mengikuti keasyikan lamunanku.
“ permisi, ibu yang suka bernyanyi itu, mana yah ? koq hari ini tidak ada ? “ tanyaku pada seorang pelayan, yang kebetulan mengantarkan kopi pesananku.
“ oh, ibu ratu ? kebetulan dia sedang pergi, besok juga sudah kembali “ papar pelayan itu ramah.
Semua orang dalam warung ini, indah. Keindahan itu dinamai di sini, membuat semua orang enggan untuk mengajak kaki mereka pergi.
Aku tersenyum, mendengar penjelasan pelayan itu, tapi aku bahagia, karena besok, suara itu melayani kembali.

Besoknya, aku sengaja percepat langkahku menuju warung itu, dan sepertinya aku terlalu cepat datang ke situ, karena tampak ibu ratu masih sibuk mempersiapkan warungnya untuk dibuka.
Aku mempercepat langkahku, dan ingin segera sampai di depan mukanya.
Akhirnya, sampai juga.
Deg..
Koq, jantung ini bergetar hebat yah. Loh..loh.. koq getarannya terasa begitu kuat yah.
Akhirnya, seperti adegan di film – film, ketika badan ibu ratu itu berbalik ke arah mukaku, aku seperti patung yang kakinya dipaku di tanah.
Diam.
Seperti orang tolol.
“ wah, kecepetan ya dek, warungnya belum buka..” keindahan itu mulai bersuara.
Tapi aku yang terlalu tolol, untuk terdiam tanpa kata.
“ dek… dek.. koq ngelamun..?” suara itu lagi.
Duh, koq mulutku ini seperti digembok sih ?
Akhirnya, gembok itu terlepas juga, melahirkan kata.
“ eh..iya ibu..eh.. aku kecepetan datangnya, tapi aku boleh masuk kan bu ? “ retorika betul sih dialog aku ini, tapi sudahlah toh, badan dan tangan dia, sepakat aku masuk lebih cepat..
Dalam hati aku tertawa kencang sekali.
Bayangkan, suatu hari dalam warung yang masih sepi, keindahan itu membuat mimpi yang mengekor ini kegeeran.
“ silahkan, warungnya memang belum buka, tapi bukan berarti ga boleh masuk..” senyum yang mempersilahkan itu, aku isyaratkan seperti lampu yang terang sekali, terangnya bahkan mampu menghiasi hatiku yang terlalu lama menelan gelap.
Aku duduk di tempat favoritku di bagian belakang, seorang pelayan perempuan, datang menghampiri aku, dan langsung menyuguhi segelas kopi.
“ koq langsung disuguhi kopi ? aku kan belum pesan ? “ protesku pada pelayan yang parasnya, bukan main manisnya.
Diprotes seperti itu, pelayan itu malah tersenyum, “ mas dion ini kan, tamu langganan kami, dan saya tahu percis, selama mas kemari, mas tidak pernah memesan minuman yang lain, dan ibu berpesan, untuk hari ini, kopi ini, GRATIS..” setelah berkata agak panjang, pelayan itu pun pergi.
Hah ? gratis ? kata ibu ? maksudnya ?
Ibu ratu seperti bisa membaca pikiranku yang penuh dengan pertanyaan – pertanyaan, dia menghampiri aku dan duduk di sampingku, duh… aku bahkan harus memegangi dadaku ini, jangan sampai hati dan jantungku, meloncat keluar, bisa malu aku.
“ iya dek, untuk hari ini, kopinya gratis, saya sering dengar dari pelayan saya, kalau adek ini, tamu langganan kami..” aku tidak menghiraukan omongan ibu yang cantik ini, aku hanya terpana melihat matanya.
Mata itu… amboi……
“ dek.. dek ? “ ibu itu bertanya lagi.
“ eh.. iya bu..eh.. maap, saya jadi melamun, iya, terima kasih banyak ya bu, aku memang suka sekali datang ke sini, khususnya mendengar suara ibu menyanyikan lagu karangan ibu itu..” jawabku jujur. Sejujur hati ini.
“ suara ibu….. bagus..” aku barusan jujur lagi, walaupun masih terbata.
“ wajah ibu juga… cantik..” upss…. Mampus aku, ini mah kelewatan jujur nih. Aku nenepuk mulutku yang kelepasan bicara.
Ibu ratu yang mendengar pengakuan itu, langsung tertawa terbahak – bahak.
“ terima kasih ya dek, pujian untuk suara, saya terima, tapi kalau pujian yang untuk cantik…. Adek pasti bohong..” wajah yang sedang bicara, tapi warnanya sekarang berubah jadi merah.
Akhh… warna merah pada pipinya itu menggemaskan sekali, apalagi ketika merah itu menghadirkan deretan gigi – gigi putih dan sorot mata yang sungguh menawan hati.
Semangat ini yang tidak aku dapati dari keindahan yang lain, selain dari ibu.
Ya… aku melihat semangat itu, seperti semangat ibu.
Dan aku seperti kesetanan, mengejar semangat itu.
“ bu, nyanyi dong.. seperti biasa, ketika warung dibuka, ibu selalu nyanyi..” aku seperti mengingatkan ibu.
Ibu itu mengangguk, lalu mulai ke depan mengambil mike dan memencet tombol play untuk musiknya.
Setelah itu, lagu itu mengalir, mengiringi suara yang indah, suara yang penuh cinta, dalam lagu cinta ini.
Aku duduk sambil membiarkan rasaku yang bergoyang, nafasku berderu kencang, aku duduk sendirian di belakang, sambil mata ini berhenti hanya pada satu titik di depan.
Titik itu lantas berubah menjadi kumpulan titik titik yang akhirnya membentuk bentuk cinta, dan bentuk itu mengitari kepala ibu ratu.
Aku bermimpi ? aku mengucek mataku, tapi kumpulan titik itu tidak juga mau pergi.
Sampai akhirnya lagu itu selesai, dan kumpulan titik yang membentuk hati itu juga hilang.
Tiba – tiba aku menyesali kehilangan hati itu.
Aku mau bentuk hati itu kembali, tapi sayang, lagu sudah selesai.

Aku berdiri dan bertepuk tangan, tepuk tanganku yang sekarang membentuk semu merah di belahan wajahnya yang dinamai pipi, pipi yang bulat indah untuk perempuan seumurnya.
Kemudian aku berjalan ke depan, menghampiri perempuan itu dan meminta mikenya, untuk aku bernyanyi, aku mulai bernyanyi, dan perempuan itu mendengar suaraku dan melihat aku sambil tersenyum, tiba – tiba ada kehangatan menjalari sekujur tubuhku, tiba – tiba saja, ada gelora lain yang turun dari mata terus ke hatiku, tiba – tiba ada rasa sayang yang minta untuk dilengkapi, dan aku tidak pernah tahu juga arti pandangan ibu kepadaku mulai sejak hari itu.
Yang jelas, sejak hari itu, aku tidak lagi hanya duduk di meja belakang sendirian mendengarkan lagu, karena, sekarang ibu pemilik warung ini, juga ikut menemani aku, bersama canda dan cerita – ceritanya yang mengobarkan semangat hidup.
Dimataku, perempuan ini, adalah wanita
Dan aku adalah laki – lakinya.

Pertemanan dan persahabatan ini, semakin kuat seiring waktu yang terus mengintai hidup, aku menjadikan warung ini, sebagai bagian dari hidupku, karena ada hati yang selalu aku tinggal di sana, hati yang selalu teriak minta disayang.
Tapi, apakah sayang, punya tempat di dalam sana ?
Apakah semuanya hanya, jatuh pada pandangan pertama, jatuh yang berdarah atau jatuh yang mengikat rasa. Mustahil.
Jangan bermimpi terus, wahai anak muda, seperti itu terus si hitam mengejek aku.

Begitulah, kiranya waktu yang berusaha mengorek hatiku, yang kian terendam di dalam gelas kopi, buatan ibu ratu. Kopi yang rasanya sepadan, seperti kopi buatan ibu di rumah.

Sampai suatu ketika, aku memberanikan diri untuk mengajak ibu ratu, keluar rumah dan makan malam.
What ? kamu gila ? duh, si hitam ini, selalu menganggu kesenangan orang saja, kalau memang aku mengajaknya jalan, kenapa ? salah ? aku mulai protes, aku merasa privasi aku sebagai seorang laki – laki teraniaya, oleh sepotong rasa yang tinggalnya saja di dalam jiwaku.
Iya, kamu salah dan kamu gila, cepat pergi dan berkaca, kamu dan perempuan yang….
Belum selesai si hitam itu melanjutkan kecaman pedasnya itu, aku memutuskan untuk membekap mulut si hitam dan lalu cepat pergi untuk menjemput ibu ratu.

Wuih.. betapa cantiknya ibu, dengan balutan baju warna merah dipadu padan dengan rok hitam panjangnya, rambut panjangnya itu dibiarkan tergerai dengan dihiasi satu buah jepitan juga berwarna merah, sapuan kuas di belahan pipinya dan lipstick berwarna merah ini, seperti melengkapi kesempurnaan malam ini.
Aku menggandeng ibu dan membiarkan tangannya memeluk aku di atas motor.
Motor melaju, menembus malam yang terkikik manja melihat pemandangan aku.
Sepanjang jalan, banyak pasang mata, seperti tidak percaya, dan terkadang menahan tawa, tapi aku bukan menjadi cemas, tapi justru malah semakin menguatkan pegangan tangan ibu di dalam tanganku.
Mungkin mereka mengira, aku anak bungsu ibu, yang manja bukan main dengan ibunya.
Iya, aku memang manja, dan memanjainya, tapi aku bukan anaknya. Dan dia bukan ibuku.
Tapi aku adalah ibu, ibu yang telah mengundang aku untuk masuk, dan memperbolehkan aku menyentuh hatinya. Tapi dia adalah aku, aku yang telah menerima undangannya untuk masuk dan kegirangan menerima hatinya.
Apa ini yang namanya cinta ?
Aku bahkan sudah mencintai dia, sebelum aku mengenalinya.

Suatu malam, di sebuah warung sate kambing, di meja yang agak di belakang ( sepertinya aku sangat suka dengan posisi duduk di belakang, merasa nyaman, atau takut ? ) aku memilih opsi yang pertama, karena aku butuh ruang yang lebih sendiri untuk bisa melengkapi keindahan malamku dengan sorot mata dan lenguh suaranya, menanggapi aku.
Menu malam ini, menu kesukaan kita berdua, sate kambing dan sopnya. Nikmat kami mengunyah daging ini, senikmat rasa kami yang saling bermain bersama,
Begitulah aku sering menghabiskan waktu untuk sekedar makan bersama dengan ibu, lalu mulai menghabiskan waktu dengan bercerita dan bernyanyi.
Suara merdu yang selalu mengganggu aku setiap waktu, dan akhirnya pertemuan selalu ditutup dengan kecewa, karena waktu yang seperti tidak pernah berpihak, mengapa jalan terlalu cepat.
Bukankah, waktu baru saja aku miliki ?
Plisss, berjalanlah lebih lambat, apalagi untuk malam ini.
Pliss..

Masih di warung sate dengan makanan dan minuman yang sudah habis di atas meja.
Show time..!!
Debaran ini, aduh.. berhenti dong, bagaimana aku bisa memulainya, kalau kalian kerap mengganggu dengan debaran yang terlalu kencang, tolong bantu aku dengan ketenangan kalian, karena ada kata yang harus aku rangkai dalam kalimat, dan kalimat itu harus aku muntahkan malam ini, kalau tidak, selamanya tidak akan pernah keluar.
Ya Tuhan, tolong bantu aku.
“ bu.. ada yang harus aku bicarakan ..” kataku keluar tapi seperti tercekat, sekuat tenaga aku mencoba untuk memacari ketenangan jiwa.
“ mau bicara apa ? “ jawab ibu, sambil mulai menatap tajam ke mataku.
Jangan pandang seperti itu ibu, kalau tidak aku bisa kalap.
“ ehmmm… kita kan sudah dekat bu, dan orang lain juga tahu, aku takut, ini akan berujung pada fitnah yang akhirnya tidak baik buat kita..” aku tiba – tiba saja tidak bisa meneruskan perkataaanku.
“ teruss ? “ Tanya ibu.
Aku harus sesantai mungkin mengutarakannya, jangan sampai ibu seperti merasa dipermainkan oleh aku.
“ bagaimana kalau ibu menikah dengan aku ? “ menyelesaikan kalimat ini, membuat aku seperti mengenyahkan sebongkah batu besar dari atas kepalaku, dan sepertinya batu itu, sekarang mampir dan singgah di atas kepala ibu ratu, sangat terlihat dari perubahan mukanya itu.
“ maafkan aku atas keberanian dan kejujuran ini bu, tapi aku tidak bisa menahan getaran yang cukup lama dan panjang ini, aku tidak bisa berbohong lagi, aku jatuh cinta sama ibu, dari awal bertemu, tepatnya dari suara ibu turun ke hatiku “ aku mulai memberanikan diri untuk memegang tangannya, dan membawa tangan itu ke depan dada aku.
Ibu ratu masih terdiam.
Aku tidak bisa melihat jawaban itu.
Ibu ratu seperti batu.
“ aku tidak bercanda ibu, aku seperti menemukan cinta yang sebenarnya, cinta yang aku cari, cinta yang membuatku selalu berlari, berlari mengejar ibu.. maaf kalau aku seperti menyinggung ibu, ibu boleh menolak aku, tapi aku yakin, cinta itu jujur..”
Aku pegang tangan ibu, dan mulai menciumnya, ciuman yang membuat pipi ibu ratu, sekarang sudah mulai basah, aku merasakan ada ketegangan yang hebat di sana, bibir yang tipis berkerut itu mulai terbuka dan bersuara, “ saya tidak pernah berfikir, untuk bisa menikah dengan seorang laki – laki yang usianya sama seperti usia menantu saya, saya seorang perempuan dengan tiga orang anak dan dua orang cucu dari hasil perkawinan selama dua kali.. bagaimana mungkin saya bisa menikahi kamu ? “ tangis yang ditahan itu semakin terasa pilu.
Jemariku mulai menghampiri air mata itu dan mengusirnya jauh, aku tidak mau ada tangis dalam cintaku, aku menyukai ibu, karena semangat dan tawanya, aku bisa hidup kembali dan merasakan aroma cinta itu karena suara ceria itu, bukan suara yang bercampur isak tangis.
“ sekali lagi bu, aku menghargai semua keputusan ibu, apapun akan aku terima, walaupun itu berupa penolakan, aku janji tidak akan pernah mengganggu hidup ibu lagi, kalau memang ibu menolak aku, tapi, kalau ibu menerima aku, ibu tidak akan pernah aku lepaskan seumur hidup.. “
Aku tidak pernah percaya, kalau aku, seorang anak lelaki satu – satunya dari pasangan ayah dan ibuku, yang tidak pernah berfikir lurus tentang apapun juga, tiba – tiba jadi bisa berbicara seperti ini, apakah cinta ini yang mengajari aku ?
Ibu ratu masih terdiam dan menunduk.
Aku pasrah pada kedalaman rasa ini, aku tidak bisa menuntut lebih pada rasa yang tidak pernah aku rencanakan kehadirannya, ya Tuhan.. kenapa tiba – tiba saja, aku merasa sangat takut.
Takut kehilangan ibu.
Takut tidak bisa mendengar suara ibu lagi.
Takut tidak bisa mencintai perempuan lain lagi…. Selain ibu.
Hanya ibu.

Di tengah kediaman kami, kami masih saling terdiam, saling berfikir, aku menunggu jawaban, jawaban yang sebagai penentu jalan hidupku, jawaban yang bukannya tidak beresiko tinggi, jawaban yang bisa membuat datangnya sebuah masalah baru.
Tapi jawaban yang berarti cinta.
Aku menunggu jawaban itu.
Aku menunggu cinta itu.

Aku terlalu letih, untuk menunggu lagi jawaban itu lebih lama, sampai akhirnya, ketika pikiranku sedang melayang mampir kemana – mana, ketika itu ada sesuatu yang menghadirkan kembali kesadaran itu, sesuatu yang hangat yang menjalari tanganku, sesuatu yang menggenggam terlalu kencang, jari ibu ratu menyusup pada jari jari tanganku, dan lalu menutup jemariku dengan cepat, sambil menghadirkan kata dalam jawaban.
“ iya.. saya bersedia. “ jawab itu lirih.
Aku seperti orang yang tuli, aku sepertinya membutuhkan pengulangan kalimat sampai seratus kali, tapi setulinya aku, aku cukup bisa mengingat kata, bahwa perempuan cantik yang duduk di hadapanku ini, mempersilahkan aku masuk ke dalam hatinya, dan sebentar lagi, hatinya akan resmi jadi milik aku.
Aku kegirangan seperti orang kesetanan, tapi tidak perlu aku tunjukkan kepada orang – orang di sekeliling aku, dan aku tidak mungkin menumpahkan kebahagiaan ini, dengan mencium ibu, walaupun aku ingin sekali menghadiahkan ciuman tepat di atas bibir perempuan ini, bibir yang berwarna merah, yang sebentar lagi juga akan aku rajai.

Memutuskan untuk mengkahiri malam itu, dengan sebuah kebahagiaan, tidak pernah aku merasakan euphoria semacam ini, tidak juga,ketika aku pertama kali berpacaran dengan mantanku, yang cantiknya bukan main, tetapi malam ini, di mataku, kecantikan ibu ratu, ada di peringkat pertama, kecantikan paras dan diri, aku menggilai hatinya.
Dia perempuan yang selisih usianya hanya terpaut dua tahun dengan ibuku.
Ibu kandungku sendiri.
Dan aku akan menikahi seorang perempuan yang sebenarnya pantas untuk aku panggil ibu.
Tapi cinta tidak pernah berpihak pada siapapun, terlalu jujur untuk dihakimi kehadirannya, sementara undangan itu datang begitu saja tidak pernah aku berfikir sekalipun untuk menghentikan langkah di tempat itu dan selama beberapa bulan lamanya terpaku di sana, dan akhirnya malah sekarang memaku si pemiliknya dalam hatiku.
Persoalan pertama selesai.
Kita masuk ke dalam persoalan kedua, aku memiliki keluarga yang juga harus aku beritahukan, begitu juga dengan ibu yang harus memberitahukan kabar gembira ini ( atau jadi kabar buruk ) kepada keluarganya.
Aku kuatir sekali, tapi aku yakin, tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan cinta, dan sesuatu yang tidak masuk akal ini, memang benar karena cinta, tidak beralasan yang lainnya.
Titik.
Benar saja, sebuah cinta tidak mungkin indah tanpa perjuangan, perjuangan mendapati cacian dan makian dari orang tua, apalagi aku adalah anak tunggal, yang begitu diharapkan untuk dapat hidup “ normal “ sama seperti laki – laki lainnya, “ memangnya tidak ada perempuan lain yang bisa membuat kamu bahagia dion, selain perempuan yang cocoknya aku panggil adik itu ? “ kata ibu, sambil menahan air mata, sedangkan ayah terlihat lebih terbuka, menurutnya tidak ada satu orang tuapun yang rela anaknya tidak bahagia, kalau memang aku bahagia karena ini, maka ayah juga bahagia.
Terima kasih Tuhan, karena aku punya ayah seperti dia, dan akhirnya setelah perjuangan yang teramat panjang, berikut perjuangan ibu ratu mengambil hati mamaku, akhirnya mencair juga hati ibu.

Tinggal masalah yang datang dari pihak keluarga ibu ratu, puteri ibu yang pertama, sungguh menolak aku, mentah – mentah, dan yang lebih kejamnya lagi, perempuan yang usianya tidak terlalu terpaut jauh denganku itu rela mengatai ibunya dengan sebutan yang tidak sopan.
Apakah sopan menyebut ibu sendiri dengan sebutan “ tante girang “, dinda, nama puteri sulungnya itu, berulang kali mengecam ibunya yang dianggap tidak tahu diri, dengan menerima tawaran menikah dari seorang laki – laki muda, seperti aku.
Dan berulang kali juga ibu ratu, bercerita tentang kisah sedih itu kepadaku, dan dada ini sudah berulang kali menerima rebahan kepala dan air matanya.
Bahkan cinta ini sempat terasa rapuh dan goyah, tapi sekuat tenaga aku menyakinkan kembali ibu, “ aku mencintai ibu dengan segenap jiwa dan seluruh hatiku “ baru seteleh itu, ibu kembali percaya akan cintaku.

Terlalu panjang perjuangan ini butuh waktu, kami semakin terdesak oleh waktu juga, sampai akhirnya, campur tangan kuasa Tuhan juga yang membuat semuanya terbuka dan indah, aku seperti orang gila saja, yang setiap hari menemui dinda, dan memberikan pernyataan – pernyataan kepada dia, bahwa aku memang betul mencintai ibu, bukan karena harta maupun sekedar hasrat saja, kalau hanya memenuhi hasrat, aku tidak akan ke sini, lebih baik ke tempat prostitusi dimana aku bisa mendapatkan kepuasan yang sesuai dengan isi kantongku.
Tapi cintaku tidak terbeli.
Cintaku tidak ternilai.
Karena ini rasa bukan benda.

Ditambah dengan kata – kata ibu ratu di suatu hari, kata – kata yang cukup menohok rasa dinda dan rasa yang lain yang mendengarnya, “ apakah kebahagiaan ibu tidak kalian perhitungkan lagi ? ibu juga berhak bahagia, dan tidak mudah untuk mencari bahagia di usia ibu yang sudah kepala empat ini, dan ketika kebahagiaan itu datang sendiri dan mencari ibu, apakah ibu harus menolaknya dan mengusirnya pergi ?? “ akhirnya kata – kata itu,membuat dinda memeluk ibunya erat sekali dan menggenggam tanganku dengan tangan ibunya.
“ aku titip ibu.. sekalian cintanya ..” lirih suara dinda.
Lirih yang tapi menyetujui.



Akhirnya, perjuangan itu menempati ruangnya sendiri, ruang merah jambu yang dihiasi dengan janur kuning di sepanjang sudut dan beraneka warna dan aroma bunga, yang membuat malam pertama ( buatku ) itu, menjadi semakin sempurna, dan malam yang sudah menjadi malam yang kesekian itupun menyempurnakan malamku.
Ibu seperti ratu ( sama seperti namanya ) semalam, bersanding denganku raja muda di sampingnya, aku bahagia, terlalu bahagia, sampai menangis. Ini tangisku seumur hidupku.
Resepsi ditutup dengan duet kami, menyanyikan lagu kenangan, lagu kenangan karangan ibu sendiri, yang selalu dinyanyikan sebelum warung itu dibuka, dan sekarang lagu itu dinyanyikan lagi, sebagai awal membuka lembaran hidup aku.. dan ibu.

Dan pada suatu malam, tepatnya pukul dua belas, di atas ranjang kamarku, aku mulai mengantuk dan mau tidur, sejurus kemudian mataku menatap wajahnya yang sudah pulas, aku lepas tangan kananku dari telinganya, dan aku lepas juga tanganku yang lainnya yang melingkari badannya, sekilas aku melihat wajah itu, wajah yang sudah penuh kerutan, kerutan yang akan hilang dimakan cinta. Karena cinta selalu membuat seseorang terlihat lebih muda. Setelah menikah, rasa cinta ini aku rasakan semakin bertambah, dan aku semakin merasa tua dari pada umurku yang sekarang, dan ibu ratu yang sekarang aku panggil dengan sebutan bunda itu selalu mengikat hatiku dengan cintanya.
Berulangkali aku mencium kening bunda.
Lalu mengambil selimut tebal dari bawah kakiku dan melebarkannya, menutupi badan kami berdua, tanganku juga lalu menggapai tombol lampu di samping tempat tidur.
lampu mati.
Tapi cinta ayang tidak akan pernah mati sama bunda, selamat tidur sayangku…
Selamat bermimpi… tentang kita.

The end
( terima kasih Tuhan atas cinta yang telah KAU persembahkan untuk pasangan ini, semoga kekal abadi… selamanya, karena cinta memang urusan hati.. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar