NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Jumat, 12 Maret 2010

S ak I t

Kenapa ?
Kenapa aku tidak menyukai yang cantik ? kenapa justru aku yang jadi si cantik itu ?

Kata orang, cermin itu tidak pernah berbohong. Selalu jujur mengungkap sesuatu. Apakah itu termasuk tentangku ? Apakah cermin yang sudah bertahun – tahun usianya ini, bisa melihat aku dan kedalaman jiwa ? atau selamanya akan selalu jadi penipu. Penipu ulung yang berkedok “ anak baik – baik “. Aku anak baik ? aku baik ? seperti ini baik yang disebut anak ? bahkan cermin di depan mukaku ini, setengah terpaksa memalingkan wajah dari pandang dan tatapku.

Tapi aku memaksa cermin itu untuk menatapku, dan tepat di depannya, aku berkaca dan teriak, “ Sebut saja, namaku Jay… “. Kaca itu masih tidak bergeming, tanda aku tidak menarik untuknya. Aku tidak peduli. Hanya aku yang tahu seperti apa aku dan masa depanku dengan “ caraku “ yang seperti ini.
Aku suka kesenian, tepatnya acting. Bukan untuk menguatkan sandiwaraku, tapi memang sudah jadi darah.

Aku lelaki yang cantik. Lelaki yang berpaling ketika perempuan melewati, tetapi menoleh ketika lelaki memanggili. Bergetar ketika menjabat tangan yang kekar, cuek ketika berkelakar dengan sesama yang cantik. Cantik yang berbuah dada, tidak berjakun seperti aku.
“ Hei… kamu bukan lelaki yang sesuguhnya…!! “ ada suara menyeruak bergerak dari dalam cermin, menguap, serta merta menampar aku yang terdiam, lalu tersungkur malu sambil duduk di lantai.
“ Bangun, pertanggungjawabkan yang lelaki itu.. Pengecut..!! “ suara itu menyeruak lagi seperti tadi, seruaknya menyemburkan hawa panas. Muka ku jadi merah, mataku apalagi. Air mata yang tidak harusnya tidak hadir malam ini, jadi seperti sengaja diundang.

Aku, lelaki ( yang katanya bukan lelaki ini ) duduk di lantai sambil menangis.
“ Hahahaha… sekarang kau menangis, semakin terlihat sisi yang bukan lelakimu. Sebenarnya, kau mau wajah yang mana ? wajah yang sekarang menempel di sana, atau wajah yang sebentar lagi kau ganti dengan yang sesuguhnya wajahmu.. ini wajahmu ? hei….. dasar pemula, junior yang dungu.. jangan salahkan pergaulan, kalau kau juga mau.. dasar, munafik..!! “
“ diaaammmmm… “ aku bangun, teriak dan melempar cermin keparat itu dengan sepatu yang baru aku beli seminggu yang lalu.
Cermin celaka yang pecah itu, bukannya empati padaku, yang sedang terperosok dalam lubang yang memang belum dalam. Yang ada di persimpangan, tapi bingung mau hendak kemana ? tidak ada papan petunjuk sama sekali. Walaupun, setiap hari lima kali menatap dan bicara dengan Tuhan. Pecahan – pecahan cermin itu, yang jumlahnya banyak, menertawai aku sampai tesedak..
“ Kau mau aku bersetubuh dengan pecahan itu dan menguliti kulitku sampai berdarah, hanya untuk mengunci tawamu yang terlalu renyah di telingaku yang sensitive ini.. “ teriakku seperti orang gila.

Kerongkonganku kering. Aku butuh air. Tanganku segera menggapai gelas di atas meja tidur, gelas yang letaknya di sebelah sebuah figura kayu berbentuk hati. Hatinya ada dua, satu berisi fotoku, dan satu yang berisi foto yang lain. Seseorang yang baru mengisi hati. Satu orang teman dekat, dari berpuluh temanku yang juga dekat. Tapi ini dekat yang berbeda. Dekatnya pakai hati. Aku mengisi kerongkonganku dengan air, tapi mata yang tidak lepas lekat pada foto.
“ aku merindui kamu.. “ kataku pelan.
“ aku sungguh merindui kamu.. “ kataku semakin pelan, dan pelan dan akhirnya luruh lagi dalam tangis.

Batinku semakin sakit, sesak membuat malam tidak lagi jadi indah, padahal aku selalu suka wajah malam, yang lalu sendirian bernyanyi di kamar, seolah – olah aku ini seorang superstar. Atau aku berjalan dengan pongahnya, dada yang dibuat busung dan dagu yang diangkat tinggi, seolah – olah aku ini seorang actor masa depan. Atau naik ke atas kursi dan teriakan kata dalam kalimat, sambil jari terusung naik ke atas, seolah – olah aku ini penyair ulung. Tapi malam ini, semua mimpi luruh.
Karena superstar, actor ataupun penyair akan malu memiliki kawan “ sakit “ seperti aku. Walaupun aku tidak pernah tahu, realita apa yang terpendam di luar ketenaran mereka. Tapi itu mereka. Bukan aku.
Mencari jati diri saja, aku sulit. Apalagi menjadi yang seperti mereka.
Memutuskan ke kiri atau kanan saja, aku selalu menyerah pada keadaan. Selalu saja aku teriak kencang, “ aku terperangkap pada kondisi yang tidak bisa dielakkan.. “
Atau kalau aku sedang dibawa perasaan bahagia karena suatu kenikmatan, aku teriak kencang lagi, “ aku tidak kuasa menolak sesuatu, yang mungkin saja takdirku. “.

Sialan.
Aku masih takut Tuhan. Aku masih beragama. Aku tidak hanya menyimpan sarung dan sajadahku saja. Aku masih memakainya. Lima kali dalam satu hari. Itu bentengku, harusnya DIA pasti menjaga aku. Tapi bagaimana mau dijaga, kalau aku masih menengok ke kiri dan ke kanan, tidak berani memutuskan sesuatu.
Aku mau setiap malamku special.

Langkahku bergerak berjumpa figura yang isinya foto “ dia “. Aku menciumi foto itu karena tidak sanggup mencium yang asli.
Sambil duduk di balkon kamar, aku menatap foto itu yang seperti bercerita.
Tentang cinta terlarang. Cinta yang keriting. Orang – orang keriting seperti aku. Bukan rambut yang keriting. Tapi aku yang “ keriting “.
Aku yang hidup di antara sesamaku yang “ keriting “. Ini pergaulanku. Ini hidupku. Keseharian bersama mereka.

Tidak sanggup aku untuk tidak mulai bercerita,
Ada seseorang yang di “ foto” ku yang baru bergabung bersama. Sebut dia Danu. Baru bergabung, tapi sudah membuat aku belingsatan. Wajah yang biasa, tapi lucu kalau dilihat agak terlalu lama. Suatu malam, kami berkumpul di suatu tempat. Saling bicara, tertawa sambil menonton sesuatu yang biasa dilarang. Dilarang agama, pastinya.
Tontonan yang membuat kami saling menganga, saling membelai, saling berjumpa, saling terbuka ( benar – benar terbuka ) dan terbiarkan berserak jatuh di lantai, bergabung bersama sepatu, sandal, ikat pinggang, celana panjang bahkan kemeja. Serakan yang tidak beraturan. Bagaimana mau teratur, kalau hawa di kamar itu spontan jadi langsung “ panas “. Pakaianku ada di antara yang berantakan itu. Aku melihat, memegang dan menonton. Aku tahu ini salah. Aku tahu Tuhan mengawasi dari setiap sudut kamar yang tertutup ini. Mereka yang semakin asik, tidak pernah mau tahu, bagaimana jantungku yang berdetak tidak normal lagi. Berlari detakannya.

Mereka menyukai danu, sama seperti aku sukanya. Tapi mereka tidak bisa membaca aku. Aku tutupi rasa itu di balik kecuekanku. Tapi Rudi ( salah satu teman ) tahu endapan rasa itu. Rasa untuk Danu.
Akhirnya malam itu, selesai dengan cucuran keringat dan erangan bahagia. Tapi bukan aku. Mereka, pastinya. Dan Danu, sudah barang tentu.

Besoknya. Aku sms danu, hanya menyapa.
Sampai malam, smsku tidak terbalas. Mungkin malu, karena tau rasaku untuknya.

Besoknya lagi. Aku pergi bersama Rudi. Aku minta dia mengajak Danu. Tapi Danu bilang, “ tidak..!! “. Aku diam. di belakangku, mereka bertukar sms. Aku biarkan. Karena aku pecundang yang sakit.

Besoknya lagi dan lagi. Aku kembali pergi bersama Rudi. Rudi asik meninggalkan aku sendirian, sementara, tangannya capek mengetik sms. Tiba – tiba, rudi teriak, “ hah.. coba liat sms danu ini ? “ katanya lagi, sambil memperlihatkan barisan tulisan itu padaku.
Barisan tulisan yang meluruhkan segenap jiwa.
Ternyata danu menyukai Rudi. Bukan aku.
“ wahhh.. kamu pasti cemburu ya.. iya kan ? “ rudi berkata sambil ketawa, dan menggelitiki pinggangku.
“ cemburu .. ? ya gal ah.. itu pilihan, kamu yang dipilih.. dasarr.. !! “ aku balas menggelitik sambil juga tertawa. tertawa yang sama seperti menangis. Tapi tidak ada yang tahu.

Rudi akhirnya memang dengan Danu. Aku patah hati, tapi tidak menangis ( paling tidak di depan mereka ). Aku melihat dengan mataku sendiri, pelukan, pegangan bahkan ciuman itu. Seperti pasangan yang “ wajar” berpasangan. Aku tersenyum melihat yang bahagia. Yang siberi senyum, membalas senyum pada orang yang ternyata “ tidak “ bahagia.

Sampai sekarang, bahagia itu masih milik mereka. Bukan milik aku. Lalu, aku milik siapa ? aku hanya bisa menggeleng. Tapi tidak kuasa menangkap tangan misterius yang mencoba menarik aku keluar dari lubang ini, mumpung lubangnya belum dalam. Tapi, mengapa aku masih menolaknya, dan malah kabur pergi dan teriak, “ maafkan aku… aku belum sanggup.. “

Itu ceritaku. Dan foto danu sekarang masih ada di dalam figura itu, aku bergegas melepasnya. Tapi, tidak jadi. Tanganku terlalu cepat untuk kembali memasukkan foto itu ke dalam figura hati warna merah jambu. Warna kesukaanku.
Malam terus berjalan.
Aku terus bertanya, sampai kapan ? bisakah yang keriting ini dibuat lurus ? bisakah mata ini ketagihan melihat yang cantik, dengan jenjang kaki, dan badan biola spanyol dengan bonus dua payudara sehatnya.

Figura itu aku letakkan kembali di atas meja samping tempat tidurku.
Tidak ada yang pernah berubah. Hatiku tetap untuk Danu, walau hati Danu hanya untuk Rudi. Toh, Danu tidak tahu, yang aku tahu tentang kamu. Biarlah tersimpan rapi, sampai hari memaksaku untuk memberi tahu.
“ aku tidak tahu. Aku ada di mana. Di persimpangan ini, aku kembali berdiri. Mau ke kiri atau ke kanan. Mau kembali atau bahagia di sini. Mau terima nasib dengan resiko di diperolok, atau berubah dengan waktu yang tanpa batasnya… “
Selalu pilihan ini.
Aku tidak mau memilih. Aku tetap mau di sini.
“ aku sakit. Aku terjebak. Atau aku dijebak. Tapi aku bahagia, karena di sini aku merasa dicinta dan bisa mencinta.. “

Aku tidak peduli tidak bisa jadi superstar. Tidak peduli tidak bisa jadi actor. Tidak peduli tidak bisa jadi penyair.
Aku peduli, karena aku jadi diriku sendiri.
Malam berlari semakin menjauh.
Walau aku tetap tidak punya jawabannya. Tapi aku tahu, aku pasti berubah. Tangan Tuhan, tidak akan pernah lepas menjagaku.
Aku biarkan hidupku mengalir.
Aku biarkan diriku mencintanya. Yang sama seperti aku.
Sampai aku bisa belajar mencinta. Seseorang yang tidak sama seperti aku. Seorang yang cantik, lembut, gemulai dalam riuh suara manja.
Amin…

“ halloo… “ tidak lama suara bunyin hapeku, membangunkan aku dari lamunan.
“ haaaiiiiii… “ suaraku dalam nada ceria untuknya.
“ hang out yuukk cinn… “ suara itu membalas yang ceria juga.
Ditambah tertawa lepasnya.
“ kemana ? “ tanyaku penasaran.
“ ketemu Danu.. “ jawaban yang mengundang keresahan. Khususnya jiwa.
“ males.. kamu saja “ jawabku enggan
“ tapi Danu mau ketemu kamu “
“ ketemu aku atau kamu ? “ serangku.
“ kamu.. “
“ aku ? “
“ iya.. “
“ kenapa ? “ tantangku tidak percaya.
“ Danu suka kamu.. “
“ suka apa ? “ nadaku penuh curiga.
“ suka kamu”

Aku masih tidak percaya. Tapi, lihat aku menari – nari sambil hape masih menempel di telinga.
Tidak peduli, melihat pecahan cermin, berubah jadi banyak lidah yang menjulur. Lidah yang meledek.
Aku bahagia.
Walaupun aku sakit.





The end
( untuk seorang kawan, yang sampai sekarang masih di persimpangan, kawan yang akan selalu jadi kawan, kapanpun dan selamanya… aku menerimamu apa adanya.. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar