NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Rabu, 17 Maret 2010

RITUAL JALAN KAKI

Bel sudah bunyi.

Jam ditangan sudah jam enam sore. Aku bersiap pulang, menoleh ke belakang memberi isyarat untuk menungguinya. Teman itu tersenyum dan mengangguk.
Satu demi satu teman keluar kelas sambil melambaikan tangan. Selesai membereskan tas, aku berdoa sejenak. Lalu keluar kelas sambil menggandeng Henjin.
Di luar kelas, Meidiana, Suryani, Yeni dan Susi sudah menunggu. Sementara Arleen dan Ria sudah melambaikan tangannya dulu.

“ Aku pulang duluan yah, papa sudah jemput..” Ria berteriak sambil lari ke halaman sekolah, mengejar mobil kijang yang sudah mengklakson berkali – kali.
“ Sampai ketemu besok, ntar malem aku telepon.. “ teriakku. Sementara yang lain tersenyum dan melambaikan tangan. Kalau Arleen lain lagi, sore ini dia izin tidak melewati “ ritual “ kami. Dia dijemput sama “ boyfriendnya “ . tapi mukanya merah kayak tomat.
“ Cieee, dijemput siapa tuh ? “ Meidiana mulai teriak. Disusul Suryani si centil, “ Kenalin dong cowoknya..” Susi si “bomper “ ikutan teriak juga, “ Naik motornya pegangan ya, awas jatuhhh.. “. Sementara aku melihat pemandangan itu mencoba melerai godaan mereka, “ Udah jangan dicelain terus dong temen kita, itu ga baik, ya udah pulang sana leen, langsung pulang yaa, awas loe kalo beloknya salah.. “ kataku malah ikutan menggoda juga. Yeni yang paling pendiam, tidak komentar, hanya geleng – geleng kepala. Mendengar celaan kami, muka Arlen semakin merah, dia mulai naik ke atas motor dan memeluk lelaki yang mukanya sembunyi di balik helm hitamnya.

Tinggal kami berlima.
Sementara Meidiana, Henjin dan Suryani ambil sepeda di parkiran. Aku, Susi dan Yeni nunggu di pintu gerbang, sambil beli batagor kesukaan. Batagor bang edi. Eunaknya pool, “ Bang… biasa yah..” kataku tidak sabar ingin segera melahap batagor yang super enak itu. Susi juga ikutan pesen 2 bungkus.

“ Kamu ga mau Yen ? “ tanyaku pada Yeni yang masih aja asik membaca. Dia menggeleng. Di antara kami, Yeni yang paling pintar, setelah itu Mei dan Henjin, kalau yang lainnya standard aja. Makanya mereka selalu jadi “ sasaran “ empuk buat dicontekin. Tapi, meskipun sahabat dan duduk sebangku, ga segampang itu bisa dikasih tahu, sampai kepalaku miring – miring, Henjin kepalanya ma badannya malah ikutan miring juga. Walhasil ditegur ma guru, “ Eh.. itu ngapain Mercy ma Henjin badannya miring – miring ? “ teriak pak Wahyu teriak. Kami berdua kaget dan kembali duduk lurus.
Aku hanya terdiam melihat kertas yang masih kosong belum keisi, beberapa kali nyenggol tangan Henjin, tapi yang ada tangannya terus nutupin kertas ulangannya itu. Kalau udah gitu, aku memilih untuk pasrah saja sambil bunyi pel pulang.
Kalau Meidiana agak beda. Dia masih lebih baik, tapi memang sedikit jutek, jadi harus ambil hatinya. Kalau mau nyontek mesti “ baekin” dia dulu. Misalnya, sebelum ulangan, pijitin tangannya, traktir mie ayam kesukaannya dan jangan lupa puji penampilannya. Percaya deh, dia bakal baik banget. Jaminan mutu. Aku pernah mencoba, dan berhasil.

“ Mer koq bengong..?” Kata bang Edi, memecah lamunanku, sementara Yeni masih asik membaca. Batagor itu langsung aku makan sambil mataku merem melek.
Tidak lama, trio sepeda itu sudah datang , kamipun mulai nyebrang dan pulang jalan kaki. “ Lohh neng, bawa sepeda tapi ga dinaikkin ? “ teriak bang Edi nanya dari sebrang.
“ Ga bang, enakan juga jalan kayak gini, lebih akrab.. “ teriak Mei dan para pemilik sepeda.
Aku bangga bertemen sama mereka, “ ritual “ jalan kaki ini, berawal dari keinginan kita mau selalu pulang bareng, jadilah kita jalan kaki, dan yang punya sepeda, jalan sambil mendorong. Itulah warna persahabatan kami, yang manis. Biasanya kami mulai berjalan dan bercerita. “ Pada ngerasa ga sih loe, kalau Charles itu semakin ganteng.. ehhmm “ Suryani mulai buka cerita, tentang Charles yang “ playboy” pujaan hati. Padahal Suryani sudah pernah ditolak, Tapi bukannya mundur, malah jalan terus. Dia ngikutin kemanapun Charles pergi. Charles ke kantin, Suryani ikut. Charles main basket, Suryani nungguin sambil pura – pura jadi cheerleaders. Kalau Charles ke toilet aja, Suryani ogah ngikutin. Kayaknya emang Suryani ini terobsesi buat jadi pacarnya.
“ Masa sih, menurut gue, mukanya biasa aja tuh.. “ kata Susi sambil ngabisin batagornya.
“ Kalau menurut gue sih emang oke.. tapi sory, he not my type.. “ kata Meidiana jutek, matanya nerawang ke langit. Sssttt…. Ya iyalah, tipenya dia kan seperti Irwan, itu loh anak kelas sebelah yang tampangnya dewasa banget.
“ Alahh… udah paling bener deh, yang cakep itu Hendrawan, anaknya baik, kaya, tapi ga sombong, mau ga yah, dia jadi cowok aku ? “ kataku tidak mau kalah, sambil inget gimana cutenya Hendrawan kalau lagi senyum. Sementara Yeni hanya tersenyum dan sesekali tertawa. Entah, tipe cowok macam apa yang dia suka. Susi lainlagi, dia ga pernah peduli soal cowok, dia cuma peduli sama perutnya yang selalu kelaperan.
“ Tanteeee… lapeeerr… minta mie ayam, somay, bacang, ma satenya yaaa… es teh manis yang dinggiinn banget.. “ gitu tuh tingkahnya si susi, jadi ga salah dong kalau dia itu dijulukin “ bomber “.

Begitulah, “ ritual” jalan kaki kami setiap hari. Padahal mereka anak – anak orang kaya, hanya aku yang sederhana. Tapi mereka lebih memilih pergi naik sepeda dan pulang “ jalan kaki “ . Bersama mereka aku tidak minder. Tapi, permintaan Susi sore ini, sungguh mengagetkan, “ Mercy, gue ma anak – anak sekarang main ke rumah loe ya ? ” dengan entengnya susi ngomong hal ini. Mendengar itu, mereka semua berhenti. Tersenyum dan setuju. Aku tergelak. Ya Tuhan.. jangan sampai mereka ke rumah. Aku belum siap. “ Duhh… aku harus ngomong apa yang sama mereka ? “ kataku dalam hati. Sumpah, aku beneran panik.
“ Jangan..jangan..sekarang ya .. nanti aja, aku pasti undang kalian semua ke rumah ya.. “ kataku sambil tergagap. Pliss Tuhan.. semoga mereka mau mengerti. Aku tahu mereka kecewa, tetapi akhirnya mengangguk juga dan kita kembali lagi berjalan. Puff… aku menghela nafas dalam – dalam. Terima kasih Tuhan.
Tiba – tiba, Susi nyeletuk, “ Makan bakso dulu yuk, gue yang bayar deh.. “ Susi memang anak orang kaya, papa nya pengusaha garmen paling terkenal di Jakarta. Mendengar itu, semua bersorak, “ Waahhh.. asik banget tuh, tapi sorry yah, gue ga bisa.. “ kata Suryani.
“ Iya, lain kali aja ya, soalnya papa gue udah masak, dari tadi sms terus, nyuruh cepet pulang.. kan kasian, kalau makanannya ga dimakan. “ Mei juga menolak halus, keluarganya memang harmonis banget, hanya berempat. Papanya doyan masak, kita aja sering banget makan dirumahnya. Keliatan banget susi kecewa.
“ Kalau aku sih, ngikut aja, kebetulan emang laper, aku rasa Yeni juga sama denganku, tapi, karena, mayoritas ga bisa, ga kan kalau makan bakso hanya bertiga. Jadi gimana kalau kita makannya besok.. ? “ kataku menengahi, supaya Susi juga tidak terlihat kecewa banget.
Yang lain setuju. Susi bersorak, tidak sedih lagi. Aku peluk dia, yang lainnya ikutan. Sepeda diparkir dulu supaya kami bisa saling berpelukan. So sweet.. persahabatan kami memang sweet banget. Setelah pelukan, kita jalan lagi. Sebenarnya jarak rumah kami masing – masing ke sekolah tidak terlalu jauh, tapi karena ritual jalan kaki ini, setiap hari, kami sampai rumah sudah gelap.

Sepanjang perjalanan, kami tidak habis – habisnya bercerita, apalagi kalau bukan tentang persahabatan. Kalau mereka sudah capek mendorong sepeda, kami akan bergantian ikut mendorong. Begitu setiap hari. Menyusuri jalan kenangan kami bersama. Pernah kami berjanji, kalau sudah lulus SMP dan kembali melewati jalan ini, kami harus tersenyum dan mengingat kembali saat kita selama tiga tahun, selalu lewat jalan ini.
Ria, yang paling sebel kalau kami sudah ceritakan soal “ ritual ” ini, karena memang dia rumahnya paling jauh, di meruya, jadi, tidak pernah merasakan moment ini. Kalau Arleen, tergantung, dijemput atau tidaknya.
“ Sus, haus..” teriakku
“ Yuk mampir minum dulu.. “ kata Susi. Sepeda mereka semua diparkir dan Susi memesan teh botol.
“ Sus, inget ga, waktu aku mau belajar motor ? “ aku bertanya sambil masih nyeruput teh botol yang dibungkus dalam plastik. Sementara yang lainnya sudah mulai tertawa, sepertinya sudah ingat.
“ Haa..ha… pastinya dong gue inget..” teriak Susi yang sudah menghabiskan dua botol.
“ Ceritain dong… !“ kata Suryani penasaran.
“ Gini nih, suatu kali, aku mau belajar motor, aku pinjem motornya Susi dan belajar di dekat rumahnya. Ternyata, pas aku naik, harusnya aku pasang gigi satu, eh malah pasang gigi tiga, akhirnya motor itu melompat lewatin pager, dan aku terpelanting.. “ aku bercerita semangat sambil meragain segala. Habis itu Susi ketawa kenceng banget. Yang lainnya juga ketawa, teringat peristiwa bodohku itu.
“ Motornya rusak dong..” tanya suryani lagi.
“ Bukannya rusak lagi, habis gue diceramahin papa..” kata Susi, sambil menjitak kepalaku, dan aku bergelayut di tangan kekarnya yang percis sama kayak tangan tukang pukul. Hihi.
“ Semenjak itu, aku ga berani lagi belajar naik motor.. untung Susi baik sekali, tidak minta ganti rugi apapun, ehh tapi tetep dihukum..” kataku lagi mengkoreksi. Susi kaget, melotot melihatku, “ Hukuman apa mer ? kayaknya ga ada deh .. “ , karena merasa tidak pernah ngasih hukuman apapun.
“ Ada, semenjak itu, aku harus selalu nganterin kamu ke kantin, kapan aja kamu mau dan tidak boleh nolak.. “
“ Sialan.. kalau itu mah bukan karena motor rusak, tapi udah jadi kewajiban yang mutlak.. “ kelakar Susi. Kita semua ketawa sambil main dorong – dorongan.

Bentar lagi sampai. Tapi sepertinya ada yang aneh. Rute biasanya kan, Yeni dulu yang pulang, “ Yen, bukannya rumah loe di sana ya ? “ tunjuk tanganku ke arah jalan rumahnya, Yeni gelagapan, tapi Meidiana buru – buru ngejelasin, “ ehh.. ga papa koq mer, kebetulan, hari ini Yeni mau ke rumah gue dulu buat ngambil buku..” katanya menjelaskan menepis curigaku. Akhirnya kami semua berpisah aku motong jalan lewat gang kecil, sementara yang lainnya belok kanan.
Aku berlari masuk gank, dengan perasaan bahagia. Bertemu para sahabatku, selalu saja meninggalkan kesan yang luar biasa. Teman – teman yang meskipun memiliki tingkat ekonomi yang jauh lebih baik tapi selalu saja mau mengerti. Perjalanan didalam gank ini memang agak lambat, karena gangnya kecil, dan rapat rumah penduduk. Rumahku sebenarnya tidak di dalam gang ini. Hanya saja, dengan memotong, akan lebih cepat sampainya. Aku yang sudah kelaparan ini terburu – buru mau pulang ke rumah, sudah tidak menengok – nengok lagi ke belakang.
Aku menarik nafas lega, karena sudah keluar dari gang, dan tinggal jalan lurus sedikit saja untuk sampai di rumah. Tampak seseorang yang aku suka melewati jalanku, lewat dan tersenyum pastinya. Uhui… senang sekali rasanya hari ini, punya para sahabat yang baik dan punya “ someone “ buat pedekate an. Pengen rasanya aku terbang dan sampai di rumah. Aku biarkan mulutku bersenandung dan badanku bergerak seperti kayak berjoget.
Huff.. akhirnya sampai juga.
Aku buka pagar rumah, dan teriak. “ Selamat Malam.. mama..” dan langsung masuk ke kamar mandi, tanpa membuka seragam, ingin rasanya meluruhkan seluruh kotoran dari badanku yang lengket – lengket ini. Di dalam kamar mandi aku masih terus bersenandung. Aku sempat merasa aneh, kenapa aku merasa bahagia hari ini? Bukannya setiap hari selalu terlihat sama ? Entahlah. Aku menggeleng. Sambil handukan dan memakai baju rumah, hatiku terus bertanya.
Selesai mandi, aku bergerak ke meja makan, membuka tudung saji, walaupun makanannya sederhana sekali, tapi aku merasa bersyukur masih bisa makan tiga kali dalam satu hari. Lagi asik – asiknya makan, tiba – tiba aku mendengar suara mama memanggili aku, “ Mercy… ayo keluar neh, ada temen – temen kamu..” teriak mama dari luar.
Aku terkesima dan tanganku lemas sambil meletakkan sendokku di atas piring yang nasinya masih penuh,walaupun lauknya sudah habis. Perasaanku kenapa jadi seperti ini ? ada apa ? siapa yang ada di luar sana. Setengah berlari, aku keluar dan membuka pintu.

Ya Tuhan..
Jantungku serasa mau copot. Aku tidak bisa berpikir apapun lagi, yang terasa hanya air mata yang mulai menetes membasahi permukaan wajahku yang sudah bersih karena baru saja disabuni. Badanku lemas sekali seperti tidak bertulang. Langkahku seperti goyang, mau ke pintu dan membukanya. Aku tidak percaya dan tidak akan pernah percaya, atas apa yang sekarang ini ada depanku. Berulangkali aku menutup mukaku dengan kedua tangan, berharap ini hanya mimpi. Tapi ternyata memang kenyataan.
Pelan – pelan aku membuka gembok pagar dan melangkah keluar pagar. Aku berdiri kaku di depan rumah menatap … jajaran teman – temanku, yang baru saja tadi pulang bersama. Teman – teman yang masih memakai seragam putih biru, belum diganti. Malah ada ria dan Arleen yang tadi sudah pulang duluan. Para sahabatku ini, sekarang “lengkap” berdiri di depan rumahku, dengan kue tart di tangan susi, dan beberapa kado di tangan yeni. Aku bahkan tidak melihat sepeda mereka, dan tidak mau peduli, dimana mereka parkir sepeda itu. Bibirku masih kelu, mataku semakin merah dan air mata ini semakin deras mengalir.
“ Mercy, maap kalau harus seperti ini..sengaja tadi, Suryani yang kita suruh untuk “ membuntuti loe, supaya kita tahu dimana rumah loe, sementara Ria dan Arleen itu sebenarnya sudah “ standbye “ di rumah susi, sambil nunggu kedatangan kita. “ ujar Meidiana yang sekarang sudah ada di hadapanku.
“ Sengaja, hari ini memang kita tidak memberikan selamat di sekolah, karena kita memang bener – bener mau tahu dimana rumah loe.” Kali ini Arleen yang bicara.
Ria juga seperti tidak mau kalah, “ Kita ini sahabatan mer, jangan ada yang disembunyiin lagi dari kita.. hanya rumah loe, yang kita tidak pernah tahu selama ini “. Sekarang ria juga udah maju berdiri di sampingku.
“ Jadi.. sampai kapanpun kita akan selalu sahabatan yah.. janji..!! “ kata suryani.
“ Kalau aku tidak kasih kamu contekan, bukan berarti kamu tidak mau lagi bersahabat denganku kan ?” tanya henjin, membuat aku bisa sedikit tersenyum.
“ Gini aja, biar tidak hanya sedikit yang pintar di gang kita ini, gimana kalau mulai minggu depan, kita buat acara belajar bersama, kita belajarnya muter aja.. “ kata Meidian kasih ide.
“ Muter ? ga mau akh mei, pusing kan.. ntar gue kelaperan lagi “ kata susi nolak mentah – mentah.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah susi yang ngegemesin itu.
“ Maksudnya Mei, kita akan belajar bersama, tidak hanya di rumah salah satu dari kita, tapi akan muter di rumah kita semua, jadi semua rumahnya kebagian.. “ Arleen menjelaskan.
“ Tapi Leen.. “ kataku kemudian dengan muka yang pucat.
“ Tenang aja mer, kita mau belajar bersama koq, jadi seperti apapun rumahnya. Ga akan jadi masalah.. apalagi kan, loe sahabat kita.. bukannya sahabat itu adalah teman suka dan duka, begitu kan ? “ kata Ria panjang lebar.

Aku tersenyum dan sungguh lega sekali rasanya, bisa melepas rahasia yang selama ini aku pendam dalam – dalam, “ terima kasih ya sahabatku, aku bukannya malu untuk kasih tahu rumahku, tapi.. aku.. “ kataku terbata.
“ Udahlah, sekarang udah ga penting sayang, kita udah tahu dan kita semua ke sini, juga untuk kasih kue tart ini dan kado dari kita.. Selamat ulang tahun yah.. “ Ria yang memulai duluan menyerahkan kue tart. Aku meniup lilinnya. Lilin mati. Kado aku terima. Dan pelukan hangat yang luar biasa, jadi kado yang paling indah sepanjang ultahku. Kami semua membuat lingkaran dan berpelukan. Kita berjanji, apapun yang terjadi, akan selalu bersama. Selalu dalam cinta. Persahabatan yang dipenuhi cinta. Selamanya. Pegangan tangan ini jadi saksi.



The end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar