NAMA GUE "MPOK" MERCY

NAMA GUE "MPOK" MERCY
TULISAN-TULISAN GUE GOKIL BIN DODOL, COZ GUE MPOK MERCY.. manttaaappp...!!!!!!

MPOK YANG BATAK... MPOK YANG HORASSS...!!!!

GUE ADALAH CERMIN YANG SEBENARNYA...

GUE BERKARYA KARENA GUE MASIH HIDUP. DAN AKAN TERUS BERKARYA SELAMA GUE MASIH HIDUP..*yee kalo udah metong gimana mau berkaryanyaa....GEPLAK...!!!hihihi

ADA DUA SISI DALAM HIDUP GUE ..*efek bintang GEMINI kalee yeee...

GUE HEPI JADI " MPOK" HIDUP GUE PENUH DENGAN TERTAWA, KEGOKILAN, IDE-IDE TOLOL DALAM OTAK CERDAS GUE, DAN MATERI-MATERI GELOO YANG GAK BAKALAN BERHENTI GUE TULIS DAN... KIRIM..*pliss gue gokil tapi gak toloolll...weiittceeee... i am smart ladyy...cieeee

PEREMPUAN HITAM YANG CANTIK BIN GOKIL..ITS ME

WELCOMING HOME...

Selasa, 04 Mei 2010

CINCIN

Tidak sabar aku membiarkan langkahku berlari masuk ke dalam kamar, membuka ikatan rambut, mengurai yang panjang hitam ditarik ke belakang, sesekali mencuri lirikku pada jam yang tergantung di dinding sebelah percis meja riasku, terlepas kaki jenjang dari sepatu, dan dilepas baju seragam yang menghimpit, begitu juga cincin di jari manis ini, sekarang, tinggal kulit putih yang halus tanpa ikatan sama sekali, berlari kecil sambil senandung mulut kecilku juga, mendapati bak penuh air, mencuri banyak airnya pindah membasah sekujur tubuh, dinginnya meresap sampai ke hati, apalagi sambil membayangi lelaki yang sebentar lagi mengetuk pintu, dan mencium wangi tubuh dari celah – celah lubang kunci, memohon ikut masuk, dan mengajak bercerita tentang penatnya hari. Tapi, sampai lepas semua daki bercampur air, terbuka pintu terburai bersama wangiku, dia, belum juga pulang.

Kembali aku mencuri lirik pada jam dinding yang tergantung di sebelah kaca rias, jam yang jarum pendeknya rebah di angka sepuluh sementara jarum panjangnya turut juga merebahi angka dua belas.
“ Aku menunggumu..” desahku tipis,

Sejam sudah bergeser, aku masih duduk di sini, di depan kaca rias yang bangga memiliki wajahku di dalamnya, berbanding terbalik dengan aku yang mukanya sudah penuh tanda tanya. Rambut panjang yang semakin berpisah dengan basahnya, sudah bosan tersisir tanpa perlu untuk menghitungnya. Tubuh wangi dengan balutan kain seadanya, sekarang sudah bercampur dengan asap yang mengepul mengajak bercanda. Tangan dengan jari mengepit batang rokok. Melihati cincin yang sudah terlepas dan diam di depan kaca.
“ Aku sedang tidak enak hati, aku tidak menikmati asapmu “ kata mulutku membiarkan semburan asapnya tidak beraturan.
Lalu berdiri, bergerak membuka pintu, menyambut angin malam, yang terpesona melihat yang cantik di depan pintu. Mata bergerilya mencari tubuh dalam gelap berlalu menghampiri pintu tempat aku berdiri. Nihil..!! bahkan tidak ada terang dalam gelap, yang ada hanya kepala – kepala dengan muka – muka nakal mereka, lelaki dan perempuan, banyak pasangan, keliaran tidak membuang pandangannya padaku. Aku kesal, menyambut langkah mereka melewati pintuku dengan berteriak, “ Mata kalian nakal.. !!!“
“ Belum datang yang ditunggu ? “ ledek mereka lagi.
“ Taiiikkk.. !!! “ teriakku pada mereka.
“ Cantik mulutnya kotor..” teriak mereka balas mengecam.
Aku tidak membalas, hanya sekarang, memunggungi mereka dan mempersembahkan ejekan dari pantatku.
Mereka tertawa, aku masuk dan kembali dalam sesak, sementara angin sejuk tertinggal di luar. Aku mulai mengutuki orang – orang dari pavilion sebelah.
Sepeninggal tawa yang semakin menghilang, aku menggantikannya dengan tawa dari layar kaca televisi. Mereka dari balik layar, berhasil menularkan tawa itu, dan sekarang mulutku penuh tawa, sampai sulit untuk bernafas, tangan memegang perut, remote jatuh ke lantai, aku tidak peduli. Aku lupa pada marahnya yang sampai tadi masih setia, sampai akhirnya gambar di tivi berganti menjadi gambar sepasang kekasih yang sedang bercinta.
Seorang perempuan dengan sorot mata berisikan cinta, disambut mesra lelaki dalam sorot yang sama pula.
Aku merasakan sorot itu mulai tertular juga, tapi lantas kecewa, ketika memalingkan wajah pada kursi di sebelah yang masih kosong.
“ Huhh.. berapa lama lagi menunggu.. ?? “ mataku mulai kesal pada gambar dalam tivi yang semakin mesra, tanganku mencari remote di lantai, menghitamkan layarnya dan melempar remote keluar jendela. “ Sekarang aku tidak akan pernah bisa melihat adegan itu, dan merasa cemburu karenanya..” dan aku bisa tertawa, walaupun rasanya masih sesak.

Jam dinding, yang masih terus setia bergerak, menoleh tidak enak, aku tahu, bukan salahnya, membiarkan jarum pendek dan jarum panjang itu terus berlalu. Aku menyesal, membuang remote ke luar jendela, kalau memang bisa aku lempar ke muka jam dinding yang tergantung di dinding sebelah meja rias. Harusnya malah, tidak ada jam itu di sana, biar aku tidak pernah tahu, sudah semalam apa sekarang, dan sudah seperti apa rasa bosanku yang meradang ini.
Bahkan wanginya sekarang sudah pergi, berganti keringat yang keluar dari amarah.
Aku teringat percakapan sebelum langkah keluar kantor, dan mendapati yang sekarang kosong.

Di meja kerjaku, seorang kawan, tersenyum melihatiku terus, tidak bergeming bola matanya. Aku tertegun, menoleh ke arahnya dan mulai tersipu dengan raut merahku yang terpamerkan.
“ Kenapa ? “ aku bertanya, tapi tangan masih bekerja terus.
Seorang teman tidak melepas pandang, malah sekarang, mendekat dan mencari tahu.
“ Kenapa mukamu ? “ dia malah balas bertanya.
Aku mengerutkan kening, tersenyum, dan memberi pukulan kecil pada dada, pukulan yang segera ditangkap oleh tangan kekarnya.
“ Mukaku, masih sama, sekarang dan selamanya.. pertanyaan bodoh .” kataku sambil menjulurkan lidah dan mengacak rambut lelaki dengan bola mata yang hampir sama dengan bola mata lelaki itu.
“ Cinta..” pelan mulutnya berkata, sangat pelan, karena dia berkata tepat di telingaku, bibirnya nyaris menempeli telingaku. Sumpah, aku bergidik. Tapi setia ini akan terus terbawa sampai mati. Aku tidak akan pernah menggantikannya dengan rasa yang lain, yang tidak sepadan dengan setia.
“ Jangan bodoh.. mata semua perempuan yang sedang jatuh cinta, nyaris sama.. “ kataku sembarang, hanya melirik, mengerling dan terus bekerja.
Lelaki yang wanginya meniru lelakiku itu, sekarang semakin berani, merebut tanganku, yang masih menempel pada keyboard komputer dan dengan berani, menempelkannya pada dada.
Aku sontak kaget, dan menarik tanganku, tapi tangannya terlalu kuat untuk aku lawan. Bukannya meminta maaf, dia semakin garang menawarkan sebuah rasa. Darinya untuk ku.
“ Jatuh cintai aku.. ?? “ pertanyaan yang bodoh. Aku bergegas ke luar tempat duduk, dan membuka pintu ruangan yang dari tadi tertutup rapat, biar berkurang, gerakan yang semakin berani dan brutal itu.
Untung saja, sekarang jamnya makan siang.

“ Aku mencintai kamu ? “ sekarang, aku yang balas memandangi mukanya, tersenyum dan menarik alisku ke atas.
“ Aku masih banyak pekerjaan, silahkan keluar.. !! “ tanganku menunjuk pada pintu.
Dia tidak juga bergeming. Aku apalagi.
Kita – kita sama beradu saling kuat dalam diam. Tenang saja, dia pasti kalah, karena sebentar lagi, ruangan ini akan penuh dengan mata – mata yang akan menusuk bola matanya yang indah ini, dengan kata – kata yang tajam, seperti “ PERGI…!!! “ aha.. aku menantikan saat itu datang.

Tapi dia terlalu pintar,
“ AKU MENCINTAI KAMU… “ aku memandang tulisan dalam kertas yang ditulis oleh jarinya, yang juga dilingkari cincin teramat manis, di jari manisnya.

Dan dia pergi, sambil membanting pintu.
Aku mengambil kertas itu, meremasnya dan menangis.
“ Sialan.. aku juga tidak akan pernah berhenti mencintai kamu… monyettt.. Monyet yang keras kepalanya...!! “ teriakku dalam hati, dan lalu melempar kertas yang sudah lecek itu masuk ke dalam kantong sampah, sebelah mejaku.

Dasar lelaki keras kepala.
Lelaki yang selalu melotot setiap kali aku menyimpan cincin kawinku, dan mengambil cincinnya juga, setiap kali bertemu dengannya pada jam makan siang, dan yang lalu memakainya lagi, kalau sudah bertemu dalam agenda meeting setiap minggunya.
Lelaki yang selalu jadi sejarah, sampai hari ini. Dan hari – hari berikutnya yang akan segera datang mendekat.
Bahkan pernah membuatku lupa pada yang tercinta. Tapi selalu bisa membuatku sejenak menyimpan cincin kawinku, dan tetap memaksanya juga menyimpan cincinnya, setiap kali walau hanya untuk sekedar memberi dan diberi ciuman selamat malam.
“ Kenapa harus terus menyimpan cincin ? “ protesnya suatu kali.
“ Aku hanya mau mencium dan dicium tanpa terlihat oleh dia “ kataku enteng, tanpa mutu, sambil menunjuk ke arah cincin yang tersimpan rapi di dalam tas.

Aku tertawa terbahak – bahak.
Dia juga sama terbahaknya.
Lalu pertemuan selesai dalam ciuman, dan cincin tetap sembunyi di dalam tas. Sampai ciuman kami.. selesai..


Sudah lewat dua jam.
Badan sudah bolak balik di atas ranjang, handbody sudah disapu ke setiap sudut tubuh, pewangi kelas atas, sudah disemprot tanpa batas, ruangan ini sudah digelapkan sedikit, supaya aroma percintaanya menguap kental.
Tapi..
Percuma..
Lelaki yang bahkan baunya pun tidak sampai ke sini, puluhan misscal, tidak membuat dia datang.
Aku mengambil kertas yang bertuliskan “ AKU MENCINTAI KAMU “ yang sudah lecek, dan merapikan kembali seperti gerakan menyeterika, membalikkan kertasnya, dan melihat tulisan lain disana.
Ajakan untuk bercinta selepas bekerja.
Di sini.
Aku berangkat duluan, sementara dia menyusul kemudian.
Tapi, ternyata..
Percuma.
“ Pecundang…” teriakku meradang, meloncat dari tempat tidur, menyambar seragamku, mengenakan rok hitamku, menguncir rambutku, mengambil tasku, dan sebelumnya, mengambil cincin kawin dari depan kaca, dan kemudian memakainya kembali.
Sebelum keluar, aku mematikan lampu, dan membiarkan kertas lecek itu, ada di atas ranjang, sebagai barang bukti.
Mengayun langkah ke lobby, bercengkrama dengan resepsionist yang lalu menyerahkan kunci kamar itu, bersama selembar kertas makian di atasnya, kertas tanpa amplop ( mudah – mudahan perempuan cantik ini, tidak tergoda untuk membacanya ).
Dan aku pergi.

Selangnya hanya sedikit, sampai lelaki yang sangat aku kenal itu, berganti masuk dan menyapa perempuan yang sama. Perempuan itu menggeleng, dan lelaki itu kecewa.
Aku melihat dari sudut mataku, dan tertawa menyeleneh.
“ Terlambat.. aku sudah kenakan cincin ini, dan kamu sudah tidak berhak lagi.. aku menunggu terlalu lama..!! “ lalu pergi mengajak malam mengikutiku sampai yang tercinta berikutnya.

Malam terus mengekori sampai ke depan pintu yang lain, tangan yang mengetuknya, di balas, oleh tangan yang membuka pintunya, yang lalu menyembul muka dengan senyum khas, terbalas oleh senyum ku dan rangkulan bahagia seorang lelaki, ditariknya masuk badanku, dan menghempas langsung ke atas kasur.
Tarikan nafasku berantakan.
Lelaki dengan sesukanya menghantam aku, berikut nafsunya. Aku bergidik awalnya, tapi jadi kesetanan juga akhirnya.
Malah lelaki yang nafasnya tidak beraturan itu, sekarang jadi jatuh tidak berdaya, menahan gejolak tidak tertandingi.
Jatuh sampai ke lantai. Berdua bergumul, menyapu lantai, memeluk malam dengan desah kita.
Semakin kuat tangannya memeluk badan dan mendorong bibir masuki bibirnya, di belakang tubuh, jariku menguat mendorong cincin untuk keluar dari sana, dan sekuat tenaga aku mengambil cincin yang melompat itu dan akhirnya masuk ke dalam tasku. Meraba jarinya yang masih bercincin, dan memaksa cincin itu keluar dari sana, dan bergabung bersama dalam tasku.
“ Kenapa harus membuka cincin ? “ katanya sambil terus mencari tengkuk dan leherku.
“ Aku tidak mau mencium dan dicium yang lalu terlihat dan dilihat olehnya “ sambil sudut mataku menunjuk ke arah cincin dalam tas. Lelaki itu tampak tidak peduli.Ada yang lebih asyik dari pada mengurusi persoalan cincin.

Hal semacam ini seolah terus mengulang, sementara waktu tidak pernah mundur malah maju terus. Terus masuk ke dalam pintu yang tidak terkunci bahkan yang terkunci juga, dan jangan lupa melepas cincin.
Akhirnya, waktu sudah mengaduh.
Time Out…

Saatnya berpisah. Aku melepas, semua yang mengikat, dan membungkam lelaki yang malam ini tenggelam dalam peluh, dengan cinta.
Aku membiarkan tubuhku terikat rapi lagi, dan mengambil cincin dan kembali melingkarinya, di jari kami berdua.
Sebelum langkah kaki meninggalkan ruang, sengaja bibir mencium lelaki yang masih rebah dalam gelap, dan membiarkan kertas yang isinya hampir sama dengan tulisan lelaki sebelumnya itu, lecek tergenggam tangannya. Kertas yang tulisan cintanya tetap sama, tetapi diberikan malu – malu pada akhir meeting kemarin siang.
“ Sampai ketemu besok di ruang meeting bos.. kamu beruntung, karena aku tepat waktu.. “ kataku tersenyum, dan mengambili ratusan dari dalam dompet yang berserak.
Simbiosis mutualisme.
Adios amigos.

Keluar pintu, dan kembali bertemu dengan resepsionist cantik yang tadi juga, baru saja beberapa langkah, suaranya sudah menghentikan langkah tiba – tiba.
“ Dia masih menunggu.. “ yang cantik di depanku, menunjuk lurus seorang lelaki yang duduk di ruang tunggu, dengan mulutnya yang terus berasap.
Pandanganku lurus pada jarinya.
Cincinnya sudah tidak ada, persiapan yang baik.
" Tapi sayang, sudah terlambat... pakai saja cincinmu lagi.. " Aku hanya tersenyum kecut melihati mukanya yang terus mencari badanku diantara perempuan - perempuan yang lalu lalang di depan mukanya, dan aku lalu melangkah pergi, kali ini tidak menghampiri pintu yang lain, tapi keluar, menghampiri petugas yang membawa masuk mobilku dan membiarkan badanku hilang dibawanya.

Badan ini lelah tidak terkira, menghampiri pintu, mengambil kunci, dan membukanya sendiri.
Masuk ruangan, menyalakan lampu, dan melihat tempat tidur sudah berisi. Perlahan, aku melepas sesuatu yang menghimpit, apalagi kalau bukan cincin kawin ini, dia tidak masuk ke dalam tas, tapi dibiarkan sendirian di atas meja karena badan yang tergesa lalu masuk ke dalam selimut yang melambai – lambai. Badan yang jadi ada dua di sana.
Lelaki itu terhentak, melihat aku, bersamaan dengan matanya melihat jam dinding yang masih tergantung di sebelah meja rias, bola matanya yang harusnya merah karena marah, jadi berbalik sendu, ketika bibirku sudah menghadang marah dalam mulutnya. Aku kembali membuka ikatan rambutku dan mengurai senyum dalam ceritaku malam ini, lelaki itu mematikan lampunya dan melempari semua baju – baju hilang ditelan lantai.
Desah yang beradu, ciptakan harmoni suara yang masih sempurna, begitu juga sebuah tanya dariku untuk nya. Sekedar mengingatkan, “ Cincinmu sudah kau lepas ? aku tidak mau dicium dan mencium yang terlihat oleh nya “ sambil dalam gelap menunjuk ke arah cincinnya.
“ Aku belum mengenakan cincin .. “ suara keluar di tengah desing desahnya.
Aku kaget, melompat berdiri, meninggalkan kamu yang masih menganga tanpa busana, “ Aku tidak bercinta dengan lelaki yang tidak bercincin ..”
Marah, lalu pergi membanting pintu.

Jam setengah tiga pagi.
Mengetuk pintu, seorang lelaki dengan bola mata yang penuh cinta, menyambutku dengan senyum dan menarik aku masuk. Ruangan masih gelap, dia tidak berniat nyalakan lampu, dia juga tidak peduli kalau hari menjelang pagi, terus dia mengikat badanku, lantas menyerang mulutku dengan bibirnya yang hitam sekelam cerita malam ini yang tidak ada akhirnya. Membelai rambutku dengan tangannya, dan seperti tidak ada habisnya kekuatanku, aku mengambil tangan itu ingin rasanya menyatukan jariku dalam jarinya, aku akan selalu jatuh cinta, pada lelaki yang yang lebih lima tahun yang lalu menghiaskan cincin pada jari manisku ini.

Tiba – tiba, ada yang tidak bersentuh oleh jariku, spontan aku nyalakan lampu, dan berteriak histeris, seperti orang kesetanan, “ Cincin kamu dimana papa ? “




The end
( untuk perempuan yang tidak pernah berhenti bercinta, tapi terus setia pada cincinnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar